Senin, 16 Juli 2012

you drive me crazy boss part II

Not a bankers wanna be..buat sebagian orang mungkin menjadi bankers menjadi cita-cita, tapi berhenti menjadi bankers merupakan mimpi gw saat ini. accidently trap in benkers suit, bener2 terjebak..baru lulus dua bulan dan modal iseng ikut temen sampai akhirnya memutuskan untuk menandatangani suatu perjanjian yang akhirnya disesali :p..
Kalau ditanya kenapa???..susah juga memberi deskripsi pasti, perusahaan ini intinya not suitable for me..dan yang paling memegang peranan penting yang menciptakan disaster buat gw adalah “my boss”. Kalau usia lo masih muda, jangan terlalu berpatok dengan financial (saran) tapi pilihlah pekerjaan dimana lo bisa belajar banyak.
Unlucky me karena ga ada hal baik yang bisa didapat dari unit kerja saat ini..kalau di beberapa tempat morning briefing ditujukan untuk menambah wawassan dan memberi semangat untuk menjalani hari-hari, morning briefing yang gw rasain Cuma merupakan kegiatan ga penting yang buang-buang waktu. Morning briefing tempat gw bisa berlangsung dari setengah 8 sampai dengan makan siang, dan isinya X_X ohhh isinya Cuma bualan sampah yang ga ada isinya dari boss gw..mungkin gw berlebihan, tapi klo lo di posisi gw, gw yakin..seyakin-yakinnya..perasaan lo ga bakal beda jauh dari apa yang gw rasain

Alkisah di suatu pagi…
Gw terlahir dari keluarga ilmuwan, dari sejak kake gw semuanya adalah ilmuwan..tetapi keluarga kami bukan ilmuwan yang pengen dikenal..cukuplah penemuan kami dipergunakan dan bermanfaat..makanya keluarga gw ga pernah kaya.
Bapak saya itu tentara angkatan laut, tapi dia ga bisa beranang..lucu kan? Hahaha
(apa yg lucu sih ni orang?)
Dulu bapak saya pernah dikirim ke Rusia, untuk melakukan penelitian gelombang elektromagnetik. Dari hasil penelitiannya, tercipta apa yang kita kenal sekarang dengan “USG”, bapak saya menemukan gelombang yang membuat radiasi itu menjadi tidak berbahaya..selesai penelitian itu bapak saya dikirim pulang, rumus penelitiannya karena takut dibajak orang dia bagi menjadi beberapa bagian dengan menggunakan 4 bahasa, bahasa jawa, bahasa sunda, bahasa inggris dan bahas rusia
(lo pikir rumus elektromagnetik tu karangan novel???stupiiddd!!!!)
Karena dulu pengiriman itu masih lewat laut, jadinya bapak saya sampai duluan di Indonesia sebelum paket rumus nya dia. Saya inget banget waktu saya kecil, tiba-tiba intelejen Rusia itu ngegeledah rumah saya..semua mainan saya dibongkar untuk cari rumusan itu..dan sayangnya ketemu oleh mereka..bahkan microchips yang sudah diamankan bapak saya di termos air juga ketemu oleh mereka. Makanya kenapa USG itu yang kita tahu awal penemuannya di Rusia, padahal itu semuanya yang nemu Bapak saya..orang Indonesia..tapi saying banget Bapak saya juga udah ga inget lagi semuanya, jadi penelitian itu ga pernah dilanjutin lagi..
(dari semua khayalan dia, menurut gw ini yang paling paraaahhhhhh!!!!!gggrrrrrrr)

Beberapa jam kemudian….
Saya dulu tinggal di kampung (gw lupa namanya), waktu pramuka kelas 5 SD saya kesasar di hutan..itu 3 hari ga ada yang bisa nemuin saya, samoai akhirnya saya makan ular selama 5 hari itu..
(gila anak 5 SD makanannya udah ular wweeekkk)
Sebelum kerja di Bank saya pernah mendalami banyak pekerjaan, bahkan saya pernah jadi guru TK, pernah punya perusahaan kontraktor sendiri, pernah jd preman, pernah jadi……. (fyi, apapun yang orang lain lagi obrolin dia pasti pernah jadi orang yg lagi lo obrolin, org yg lo cita2in atau orang apapun yang kedengeran ama telinga dia).
Lanjutin tar lagi..doi mendekat..liat tampangnya aj udah enek..apalagi klo dia ampe mendekat..save me God *pray*

Senin, 02 Juli 2012

Pengaruh Neoliberalisme dalam Ekonomi Kerakyatan Indonesia

Secara umum, istilah laissez-faire dimengerti sebagai sebuah doktrin ekonomi yang tidak menginginkan adanya campur tangan pemerintah dalam perekonomian. Doktrin ini berpendapat bahwa suatu perekonomian perusahaan swasta (private-enterprise economy) akan mencapai tingkat efesiensi yang lebih tinggi dalam pengalokasian dan penggunaan sumber-sumber ekonomi yang langka dan akan mencapai pertumpuhan ekonomi yang lebih besar bila dibandingkan dengan perekonomian yang terencana secara terpusat (centrally planned economy). Pendapat ini didasarkan pada pemikiran bahwa kepemilikan pribadi atas sumber daya dan kebebasan penuh untuk menggunakan sumber daya tersebut akan menciptakan dorongan kuat untuk mengambil risiko dan bekerja keras. Sebaliknya, birokrasi pemerintah cenderung mematikan inisiatif dan menekan perusahaan.
Dalam pandangan laissez-faire, kewajiban negara bukanlah melakukan intervensi untuk menstabilkan distribusi kekayaan atau untuk menjadikan sebuah negara makmur untuk melindungi rakyatnya dari kemiskinan, melainkan bersandar pada sumbangan dan sistem pasar. Laissez faire juga menyatakan bahwa pemerintah tidak boleh memberi hak khusus dalam bisnis. Misalnya, penganut dari laissez-faire mendukung ide yang menyatakan bahwa pemerintah tidak boleh membuat monopoli legal atau menggunakan kekuasaan dan paksaan untuk merusak monopoli de facto. Pendukung dari laissez-faire juga mendukung ide perdagangan bebas dalam artian negara tidak boleh melakukan proteksi, seperti tarif dan subsidi, di wilayah ekonominya.
Secara harfiah, laissez-faire adalah doktrin bahwa urusan ekonomi masyarakat yang terbaik yaitu dipandu oleh keputusan bebas dan otonom individu di pasar, dengan mengesampingkan berbagai campur tangan pemerintah dalam hal ekonomi. Artinya, doktrin bahwa pemerintah tidak ikut campur tangan dengan ekonomi individu tersebut dan membiarkan mereka melakukan apa yang mereka harap, selama mereka menghormati hak-hak pribadi dan milik orang lain.
Dalam teori ini, ada dampak positif yang ditimbulkan yaitu , orang akan disiplin dan mempunyai etos kerja yang tinggi, namun sisi negatifnya adalah memungkinkan persaingan yang kuat dan tidak sehat, terkadang saling menjatuhkan , dan tingkat kolektifitas cenderung sedikit.
Ide-ide ini semakin berkembang sejak jaman Pemerintahan Soeharto hingga kepemimpinan SBY saat ini, hal ini ditandai dengan agenda-agenda neoliberal seperti :
1.        Privatisasi BUMN
2.        Pencabutan Subsidi
3.        Liberalisasi Pasar
4.        Penguasaan sumber daya alam Indonesia oleh asing
5.        Utang luar negeri yang seharusnya menjadi modal pembangunan justru menjadi alat untuk melemahkan perekonomian bangsa.
6.        Regulasi investasi yang membuat investor nyaman berinvestasi seperti insentif pajak, membangun iklim investasi yang kondusif yang berarti keamanan yang terjamin, serikat buruh yang “ramah” serta sistem tenaga kerja yang fleksibel.
Semangat pembentuk negara dalam perumusan sistem perekonomian nasional tercantum dalam Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 :
1.      Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan.
2.      Cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara.
3.      Bumi, air dan kekayaan alam yang berada di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
4.      Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta  dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.
5.      Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-undang.

Pada tahun 2002 dilakukan amandemen terhadap UUD 1945 dimana hanya Pasal 1,2 dan 3 saja yang tetap dipertahankan, Pasal 4 dan Pasal 5 serta penjelasan yang berbunyi “Bangun perusahaan yang sesuai dengan itu ialah koperasi”  dihapuskan dari UUD 1945.Dihapuskannya kedua pasal dimaksud menunjukkan bahwa telah terjadi perubahan ideologi ekonomi bangsa Indonesia. Sistem ekonomi kerakyatan yang diidam-idamkan oleh pendiri negara nyatanya belum pernah terlaksana penuh di Indonesia.
Masuknya paham neoliberalisme dalam tatanan perekonomian Indonesia bukan merupakan hal yang mengejutkan. Neoliberalisme sendiri merupakan pembaruan dari ajaran lama yaitu kapitalisme, dimana bangsa Indonesia sendiri sebenarnya pernah mengalami masa-masa tersebut selama 350 tahun saat dijajah oleh bangsa asing. Disebut neoliberalisme karena sistem ini menginginkan suatu sistem ekonomi yang sama dengan kapitalisme, dimana kebebasan individu berjalan sepenuhnya dan campur tangan pemerintah yang sesedikit mungkin dalam kehidupan ekonomi. Penentu utama dalam kehidupan ekonomi adalah pasar, bukan pemerintah. Neoliberalisme bertujuan mengembalikan kepercayaan pada kekuasaan pasar atau perdagangan bebas dengan pembenaran mengacu pada kebebasan. Perkembangan paham ini juga didukung dengan globalisasi yang telah merambah hampir semua ranah kehidupan masyarakat, baik itu bidang ekonomi, politik, ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek), budaya, pendidikan, dll. Globalisasi merupakan sesuatu proses alamiah yang timbul serta merta akibat kompleksitas dan heterogenitas hubungan antar manusia sebagai makhluk sosial, akibat penemuan alat-alat teknologi modern  yang membuat perekonomian dunia kemudian berkiblat ke dunia barat yang dianggap mampu menjadi negara maju yang sejahtera.
Indonesia merupakan bagian dari masyarakat global sehingga sudah pasti sistem perekonomiannya juga akan terpengaruh pihak asing. Namun apakah benar paham asing dimaksud sesuai untuk diterapkan di Indonesia?. Ada alasan tersendiri mengapa pendiri negara memilih sistem ekonomi kerakyatan dan bukan kapitalisme atau komunisme. Apa yang diterapkan oleh negara-negara barat belum tentu akan menghasilkan hal yang sama bagi bangsa Indonesia, sebab banyak faktor yang perlu dipertimbangkan, misalnya keragaman suku bangsa, budaya dan ragam kekayaan alam yang dimiliki Indonesia berbeda dengan bangsa-bangsa lain di dunia.
Penelitian yang terkait dengan hukum ekonomi Indonesia pertama kali dikaji ilmiah pada tahun 1982 oleh DR.C.F.G Sunaryati Hartono, S.H., dimana hukum ekonomi Indonesia dibagi menjadi dua yaitu Hukum Ekonomi Pembangunan dan Hukum Ekonomi Sosial.
Hukum Ekonomi Pembangunan adalah pengaturan dan pemikiran hukum mengenai cara-cara peningkatan dan pengembangan kehidupan ekonomi (peningkatan produksi) secara nasional dan berencana. Hukum Ekonomi Pembangunan meliputi bidang-bidang pertanahan, bentuk-bentuk usaha, penanaman modal asing, kredit dan bantuan luar negeri, perkreditan dalam negeri perbankan, paten, asuransi, impor-ekspor, pertambangan, perburuhan, perumahan, pengangkutan dan perjanjian internasional.
Hukum Ekonomi Sosial adalah pengaturan dan pemikiran hukum mengenai cara-cara pembagian hasil pembangunan ekonomi nasional secara adil dan merata, sesuai dengan martabat kemanusiaan (hak asasi manusia) manusia Indonesia (distribusi yang adil dan merata). Hukum Ekonomi Sosial meliputi bidang obat-obatan, kesehatan dan keluarga berencana, perumahan, bencana alam, transmigrasi, pertanian, bentuk-bentuk perusahaan rakyat, bantuan dan pendidikan bagi pengusaha kecil , perburuhan, pendidikan, penderita cacat, orang-orang miskin dan orang tua serta pensiunan.
Kajian ilmiah terkait sistem ekonomi negara Indonesia nampaknya perlu diperbaharui karena terjadi perubahan dari waktu ke waktu, kondisi perekonomian Indonesia semakin bergerak menjauh dari apa yang disebut Hukum Ekonomi Pembangunan dan Hukum Ekonomi Sosial. Pergerakan perekonomian dan kebijakan pemerintah dengan pertimbangan berbagai macam hal mengarah pada penyerahan ekonomi bangsa dalam kekuatan pasar. Pasar sempurna dianggap merupakan kondisi pasar yang paling ideal oleh karena pelaku usaha adalah price taker dan bukan price maker sehingga tidak dapat mempengaruhi harga. Pada pasar persaingan sempurna harga yang terjadi relatif rendah, penjual dan pembeli tidak mempunyai kekuatan untuk mempengaruhi harga. Salah satu cara untuk peningkatan keuntungan adalah dengan efisiensi biaya produksi. Pasar persaingan sempurna mengalami efisiensi produktif karena output diproduksi dengan menggunakan kombinasi sumber daya yang tersedia dengan seefisien mungkin. Keuntungan juga dapat diperoleh oleh pelaku usaha dengan melakukan efisiensi alokatif, yaitu efisiensi dalam penggunaan sumber daya, dimana efisiensi yang berkaitan dengan kombinasi paling efektif dari faktor-faktor produksi tenaga kerja, modal dasar dan modal nyata pada suatu saat tertentu. Dalam pasar persaingan sempurna pelaku usaha mengalami efisiensi alokatif karena barang yang diproduksi adalah barang yang paling bernilai bagi konsumen.
Tidak ada keraguan bahwa pasar bebas, persaingan, invisible hands serta hidden foot akan mengakibatkan perubahan yang mendasar dalam struktur perekonomian yang diselenggarakan dengan perencanaan yang dibuat oleh pemerintah. Bagi penganut paham ini, terutama kalangan pebisnis akan berpendapat bahwa pilihan untuk tetap mempertahankan ekonomi terkontrol bukanlah solusi yang cerdas bagi suatu negara yang hendak terlibat dalam perdagangan internasional.
Adanya tatanan hukum dan peraturan-peraturan seringkali dianggap menghambat pertumbuhan ekonomi dan menghalangi perkembangan bisnis. Akan tetapi bagi negara seperti Indonesia yang tengah mengalami transisi ekonomi konsep persaingan lokal memiliki implikasi sosial dan hukum yang cukup signifikan. Pemerintah tidak dapat berharap bahwa pasar bebas dapat meningkatkan lapangan pekerjaan, meningkatkan kesehatan serta standar hidup masyarakat tanpa menghilangkan halangan dalam perdagangan. Bagaimanapun sudah seharusnya ada hukum yang mengatur dan mengelola perekonomian negara, karena pada dasarnya hukum mempunyai beberapa peranan dalam pembangunan ekonomi Indonesia, antara lain :
1.      Hukum sebagai pemelihara ketertiban dan keamanan
Lingkungan yang tidak aman akan menyulitkan pertumbuhan ekonomi, tidak ada investor yang akan mengambil risiko terlalu besar untuk mengembangkan usaha di daerah yang sering berperang. Faktor ketertiban dan keamanan bukan hanya dibutuhkan oleh masyarakat umum namun juga oleh pelaku bisnis, sehingga mereka dapat merasa tenang dalam menjalankan bisnisnya.
2.      Hukum sebagai sarana pembangunan
Pembangunan ekonomi suatu negara , terutama di negara berkembang, hukum memiliki peranan yang besar untuk memberikan peluang pembangunan ekonomi. Untuk terciptanya persaingan usaha sebagaimana dimaksud tentunya membutuhkan  suatu aturan  dan keadaan yang cukup kondusif di mana hukum dan pembangunan dapat saling menyokong satu sama lain. Menurut Max Weber terdapat beberapa faktor penentu agar hukum mampu memberikan kondisi yang kondusif untuk membantu pembangunan ekonomi, yaitu : stabilitas, prediktabilitas, keadilan, pendidikan dan kemampuan aparat penegak hukum.
3.      Hukum sebagai sarana penegak keadilan
Dalam kegiatan berbisnis seringkali terjadi perselisihan, jika tidak ada hukum yang mengatur maka perselisihan akan berlangsung terus menerus dan akan merusak kehidupan bisnis yang berujung pada kerugian pengusaha dan kesulitan konsumen dalam memperoleh barang/jasa yang dibutuhkan.
4.      Hukum sebagai sarana pendidikan masyarakat
Globalisasi di bidang ekonomi ditandai dengan lahirnya atau disepakatinya beberapa bentuk multinational agreement, yang berskala internasional, maupun berskala regional. Untuk melindungi warga negara diperlukan payung hukum bagi pelaku usaha Indonesia agar dapat bertahan dalam persaingan bebas. Adaptasi peraturan salah satunya merupakan upaya hukum untuk memberikan pengetahuan kepada masyarakat umum atas suatu hal.

Dari pemaparan diatas terlihat bahwa pasar yang dalam hal ini adalah pasar persaingan sempurna bertentangan dengan amanat konstitusi yang tertuang dalam Pasal 33 UUD 1945. Lalu manakah yang dapat membawa bangsa Indonesia menuju ke gerbang kemerdekaan yang hakiki, merdeka dari intervensi asing, merdeka dari penjajahan dengan wajah baru, merdeka dari segala unsur-unsur asing yang menggerogoti jiwa bangsa. Sulit untuk mengatakan mana yang terbaik ditengah kondisi yang serba tidak pasti seperti saat ini. Jika dicermati sebenarnya Pasal 33 UUD 1945 sebenarnya makin relevan dengan tuntutan global untuk menumbuhkan global solidarity dan global mutuality. Untuk memahami makna dan tujuan dari Pasal 33 UUD 1945 diperlukan pengetahuan yang memahami platform nasional, sebab tanpa memiliki ideologi kerakyatan, cita-cita sosionalisme dan sosio demokrasi akan sulit menyadari relevansi pasal dimaksud dalam perkembangan ekonomi Indonesia.
Selama ini banyak ketentuan peraturan perundang-undangan dibidang ekonomi hanya sekedar mencantumkan ketentuan Pasal 33 UUD 1945 dalam pertimbangan hukum dengan diselimuti kata ‘mengingat’, tanpa secara konsisten menindaklanjutinya dalam pasal-pasalnya, bahkan tidak jarang terdapat ketentuan pasal-pasal dalam undang-undang tersebut tidak sinkron dan bahkan bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945, khususnya Ayat (1), (2) dan (3). Hal demikian menunjukkan bahwa produk perundang-undangan saat ini tidak lebih dari tumpukan peraturan yang sarat kepentingan dan telah kehilangan rohnya, yaitu nilai luhur yang dikandungnya. Oleh sebab itu, sudah pada tempatnya jika didalam peraturan hukum dan perundangan terdapat bagian yang mampu mengalirkan nilai-nilai luhur tersebut. Bagian itu adalah asas hukum yang akan memberikan orientasi yang jelas, mengenai arah kemana masyarakat sebagai adresat akan dibawa oleh hukum yang mengaturnya.
Cita-cita pendiri bangsa yang mulia tidak akan pernah terwujud jika pemimpin bangsa tidak mampu menjadi pejuang bagi ekonomi kerakyatan. Tidak dapat dipungkiri bahwa hukum bagaimanapun merupakan produk politik yang dibuat oleh para pemimpin bangsa. Sehingga jika bangsa ini berkeinginan untuk mewujudkan cita-cita tersebut, dibutuhkan pemimpin-pemimpin yang dapat dengan tegas mempertahankan kehormatan bangsa dan melindungi kekayaan yang terkandung didalamnya di tengah-tengah persaingan global dengan tidak menjadi boneka bagi penguasa-penguasa asing. Keselarasan antara politik, hukum dan cita-cita bangsa seharusnya menjadi faktor pendorong tumbuhnya perekonomian yang dapat memberikan kesejahteraan pada rakyatnya. Tanpa adanya harmonisasi dari ketiga aspek tersebut maka perekonomian hanya akan dikuasai dan mensejahterakan kalangan-kalangan tertentu saja dan dapat berbuntut pada penderitaan rakyat kecil dan hilangnya ideologi negara yang terpangkas oleh unsur-unsur asing.

Hukum Acara Undang-Undang No.5 Tahun 1999

1.       Kelemahan dari Hukum Acara Undang-Undang No.5 Tahun 1999.
a.       Pasal 35 dan Pasal 36 Undang-Undang No.5 Tahun 1999, memberikan KPPU tugas dan wewenang untuk melakukan penyidikan, penuntutan dan sekaligus sebagai pengadilan yang dapat memutuskan dan menetapkan ada atau tidaknya kerugian baik itu di pihak pelaku usaha lain atau masyarakat. Kekurangan yang sangat nyata yakni dalam hal pengaturan hukum acaranya walaupun dalam teknis substansial sudah cukup mendapat penjelasan. Sehingga untuk mengetahui proses pemeriksaan oleh KPPU, proses pemeriksaan upaya hukum keberatan di Pengadilan dan proses pemeriksaan upaya hukum Kasasi di Mahkamah Agung tidak dapat ditemukan dalam Undang-Undang tersebut. Di dalam Undang-Undang No.5 Tahun 1999 hanya disebutkan bahwa keberatan diajukan ke Pengadilan Negeri, sedangkan bagaimana cara pemeriksaannya tidak dijelaskan. sehingga dalam prakteknya cukup menjadi hambatan bagi Pengadilan Negeri dalam melakukan pemeriksaan terhadap upaya hukum keberatan yang dilakukan oleh pihak pelaku usaha yang tidak menerima putusan KPPU. Kemudian dikeluarkan Perma No.3 Tahun 2005 untuk mengisi kekosongan hukum acara dalam Undang-Undang No.5 Tahun 1999.
b.      Perlu dilakukan revisi terhadap Undang-Undang No.5 Tahun 1999 mengingat KPPU memiliki kewenangan yang cukup luas diperlukan ketentuan hukum acara yang sangat lengkap, sehingga dalam revisi tersebut perlu melibatkan praktisi dan penegak hukum untuk memperoleh suatu aturan lengkap dan akurat terkait hukum acara agar proses peradilan di KPPU juga dapat berjalan sesuai dengan yang diharapkan. KPPU memiliki kewenangan yang luas dimana kewenangan-kewenangan yang luas tersebut tetap ada batasnya, yaitu dari segi eksekusi putusan, walaupun KPPU bisa memeriksa, menyidik, memanggil para pihak bahkan membuat suatu putusan terhadap perkara yang diperiksanya tetap saja KPPU tidak bisa melaksanakan eksekusi terhadap putusan yang telah dibuatnya karena untuk melaksanakan eksekusi diperlukan fiat eksekusi pengadilan. Dari segi pidana, walaupun KPPU memiliki kewenangan yang luas untuk melakukan pemeriksaan, tetapi hasil pemeriksaan KPPU tersebut hanya menjadi bukti permulaan yang cukup bagi penyidik.
2.       Kritisi terhadap Peraturan Mahkamah Agung No.3 Tahun 2005
a.       Peraturan MA No.3 Tahun 2005 dalam beberapa hal belum mampu melengkapi kekurangan dalam hukum acara misalnya bagi pembuktian pidana. Perma No.3 Tahun 2005 melakukan penyempitan makna bahwa status KPPU sebagai “pihak” tidak sama dengan makna hukum “pihak” dalam perkara lain di luar hukum persaingan usaha. Terhadap upaya konsolidasi sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (2) Perma No.3 Tahun 2005 dinyatakan bahwa dalam hal keberatan diajukan lebih dari satu pelaku usaha, untuk putusan yang sama tetapi berbeda tempat kedudukan hukumnya, KPPU dapat  mengajukan permohonan tertulis kepada Mahkamah Agung untuk menunjuk salah satu Pengadilan Negeri agar memeriksa keberatan tersebut. Namun yang  belum jelas dari hal tersebut adalah apakah keberatan tersebut tetap ditangani oleh Majelis Hakim yang sama atau Majelis Hakim yang berbeda? Sebab penanganan perkara oleh Majelis Hakim yang berbeda, bukan tidak mungkin putusannya juga berbeda. Nomor perkara yang berbeda akan memiliki konsekuensi kepastian yang  berbeda pula.
Pertimbangan memasukkan irah-irah dalam putusan KPPU ada dua yaitu :
1)      Pertimbangan teknis : agar putusan KPPU ketika diajukan ke pengadilan untuk dieksekusi, putusan tersebut sudah tidak menjadi persoalan karena sudah ada irah-irah sehingga hakim tinggal mengesahkan saja.
2)      Pertimbangan substansi : mengenai persoalan keadilan. Hukum persaingan murninya adalah aspek ekonomi, dengan memasukkan irah-irah, maka filosofi keadilan masuk dalam rumusan.
Namun kemudian Mahkamah Agung mengatakan bahwa hal tersebut tidak bisa dilakukan karena KPPU bukanlah pengadilan.
Beberapa kelemahan hukum acara dalam Peraturan Mahkamah Agung No.3 Tahun 2005 :
1)      Pengaturan dalam Pasal 5 ayat (2) Perma No.3 Tahun 2005 menegaskan bahwa dalam hal pelaku usaha mengajukan keberatan, KPPU wajib menyerahkan putusan dan berkas perkaranya ke Pengadilan Negeri yang memeriksa perkara keberatan, sementara pemeriksaan keberatan oleh Pengadilan Negeri hanya pada putusan dan berkas perkara. Terdapat potensi penyimpangan karena tidak lagi dilakukan pemeriksaan ulang atas seluruh berkas perkara sebagaimana yang diatur dalam hukum acara perdata dan hukum acara pidana. Jika yang diperiksa hanya keberatan pelaku usaha dan tidak ada lagi pemeriksaan para pihak termasuk saksi-saksi dan saksi ahli, dikhawatirkan terjadi penyimpangan terhadap asas penting dalam hukum acara audit et alteram partem, yaitu suatu asas yang mengharuskan pemberian kesempatan yang seimbang kepada para pihak untuk membela diri secara pantas. Pasal 6 ayat (1) Perma No.3 Tahun 2005 hanya menyebutkan bahwa dalam hal majelis hakim berpendapat perlu pemeriksaan tambahan, melalui putusan sela perkara dikembalikan kepada KPPU untuk dilakukan pemeriksaan tambahan.Perma No.3 Tahun 2005 dalam beberapa hal mampu melengkapi kekurangan dalam hukum acara bagi pembuktian pidana, namun dalam pelaksanaan persidangan terhadap keberatan para Terlapor, ternyata harus berubah menjadi perkara perdata di Pengadilan Negeri. Dengan demikian upaya KPPU menegakkan UU.No 5 Tahun 1999 awalnya menempuh prosedur pembuktian pidana, namun dalam pelaksanaan persidangan terhadap keberatan para Terlapor, ternyata harus berubah menjadi perkara perdata di Pengadilan Negeri. Dengan demikian, upaya KPPU menegakkan UU No.5 Tahun 1999 dicederai oleh lemahnya perlindungan hukum yang seimbang terhadap terlapor dalam berperkara.
2)      Jika terlapor keberatan diproses menurut hukum acara perdata berarti harus menggunakan aturan dalam HIR. Sesuai aturan Pasal 393 (1) HIR ditentukan bahwa “waktu mengadli perkara di hadapan pengadilan negeri maka tidak dapat diperhatikan acara yang labih atau lain dari pada yang ditentukan dalam reglemen ini”. Oleh karena Peraturan Mahkamah Agung kedudukannya lebih rendah dari HIR maka hukum acara yang diatur HIR lah yang harus dipatuhi, bukan peraturan Mahkamah Agung.
3)      Dalam menangani perkara keberatan terlapor, jika terlapor mengajukan bukti tambahan bukan dilakukan terhadap keberatannya, pemeriksaan tambahan bukan dilakukan oleh hakim tetapi dilakukan oleh KPPU.
Masih terdapat begitu banyak kekurangan dalam hukum acara yang harus dibenahi demi menciptakan iklim usaha yang sehat dan jujur serta upaya menciptakan lembaga hukum yang berwibawa, adil dan terpercaya.
b.      Masih banyaknya kekurangan dalam hukum acara pada Peraturan Mahkamah Agung No.3 Tahun 2005, sehingga perlu dilakukan revisi atas Perma dimaksud. Untuk mencapai kepastian hukum, aturan yang dibuat juga harus jelas dan tegas dalam pengaturannya, aturan yang satu dengan yang lain haruslah harmonis dan tidak tumpang tindih. Sebenarnya penegakan hukum persaingan usaha bisa saja dilakukan oleh kepolisian, kejaksaan dan pengadilan. Pada hakikatnya pengadilan merupakan tempat penyelesaian perkara yang resmi dibentuk negara. Namun, untuk hukum persaingan usaha, memang perlu dilakukan oleh institusi lain karena hukum persaingan usaha membutuhkan orang-orang spesialis yang meiliki latar belakang dan mengerti seluk beluk bisnis dalam rangka menjaga mekanisme pasar. Institusi yang melakukan penegakan hukum persaingan usaha beranggotakanorang-orang yang tidak saja berlatarbelakang hukum, tetapi juga ekonomis dan bisnis. Hal ini sangat diperlukan mengingat masalah persaingan usaha sangat terkait erat dengan ekonomi dan bisnis.
3.       Pedoman Pasal 51 Undang-Undang No.5 Tahun 1999 :
a.       Sebagaimana diketahui bahwa dampak negative suatu monopoli akan sangat merugikan kepentingan masyarakat, namun ternyata monopoli tidak hanya dilakukan oleh pihak swasta saja, tetapi juga oleh badan usaha negara. Hal tersebut dimungkinkan oleh system ekonomi nasional yang didasarkan pada demokrasi ekonomi. Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945 memberikan dasar filosofis dan hukum hukum kemungkinan monopoli dan/atau penguasaan atas cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak serta penguasaan bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya oleh negara. Monopoly by law dimungkinkan dalam hukum persaingan usaha, selama kegiatan yang dimaksud menyangkut cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak. Namun demikian, jangan sampai ketentuan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945 disalahgunakan negara dengan menjadikan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) sebagai justifikasi untuk menindas rakyat banyak dan menyerah kan tampuk produksi yang penting ke tangan seseorang yang berkuasa. Dapat dikatakan bahwa UUD 1945 tidak antimonopoly.
Ketentuan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945 lebih lanjut dijabarkan dalam Pasal 51 Undang-Undang No.5 Tahun 1999, yang menyatakan : “monopoli dan/atau pemusatan kegiatan yang berkaitan dengan produksi dan/atau pemasaran barang dan/atau jasa yang menguasai hajat hidup orang banyak serta cabang-cabang produksi yang penting bagi negara diatur dengan undang-undang dan diselenggarakan oleh Badan Usaha Milik Negara dan/atau badan atau lembaga yang dibentuk atau ditunjuk oleh Pemerintah. Berdasarkan ketentuan Pasal 51 ini, negara masih dimungkinkan memberikan hak monopoli dan/atau pemusatan kegiatan produksi dan/atau pemasaran barang dan/atau jasa, yang sebelumnya diterapkan atau diatur dengan undang-undang dan penyelenggaraannya akan diserahkan kepada Badan Usaha Milik Negara yang dibentuk berdasarkan undang-undang, atau badan/lembaga lain yang dibentuk atau ditunjuk Pemerintah berdasarkan undang-undang. Demi terselenggaranya amanat UUD dan tanpa mengesampingkan tujuan Undang-Undang No.5 Tahun 1999 disusunlah pedoman Pasal 51 Undang-Undang No.5 Tahun 1999 bertujuan untuk :
1)      Mengidentifikasi batasan hukum yang jelas terkait kegiatan yang menguasai hajat hidup orang banyak
2)      Mengidentifikasi criteria badan usaha yang dapat melakukan monopoli
3)      Menetapkan mekanisme penyelenggaraan monopoli
4)      Menjadi pedoman bagi para pihak dalam melakukan kegiatan usaha agar tidak mengakibatkan praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat
Monopoli pengaturan, penyelenggaraan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan sumber daya alam serta pengaturan hubungan hukumnya ada pada negara. Pedoman Pasal 51 merupakan upaya KPPU yang sangat baik dalam mengantisipasi timbulnya persaingan usaha tidak sehat akibat monopoly by law, sehingga diharapkan iklim persaingan usaha yang sehat akan membentuk ketahan ekonomi nasional yang diharapkan, dimana kesejahteraan pada akhirnya dapat dirasakan merata oleh seluruh masyarakat. Namun mengingat dunia ekonomi yang terus berkembang dan sangat dinamis, pedoman tersebut harus senantiasa dipantau dan disempurnakan sesuai dengan perkembangan perekonomian dan administrasi negara yang ada maupun perubahan kebijakan ekonomi nasional secara menyeluruh.
b.      Tidak seluruh BUMN boleh mendapat pengecualian menurut Pasal 51 Undang-Undang No.5 Tahun 1999, sebagaimana disebutkan bahwa penyelenggaraan monopoli dan/atau pemusatan kegiatan produksi dan/atau jasa oleh negara terhadap kegiatan yang berkaitan dengan produksi dan atau pemasaran atas barang dan/atau jasa yang menguasai hajat hidup orang banyak serta cabang produksi yang penting bagi negara, diutamakan dan terutama diselenggarakan oleh BUMN. Dalam hal dimana BUMN tidak memiliki kemampuan untuk menyelenggarakan penguasaan monopoli negara, maka berdasarkan Pasal 51 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 penyelenggaraan monopoli dan atau pemusatan kegiatan dapat diselenggarakan oleh badan atau lembaga yang ditunjuk pemerintah. Dapat disimpulkan bahwa tidak seluruh BUMN yang mendapat pengecualian, karena sekalipun berbentuk BUMN untuk dapat menyelenggarakan monopoli atau penguasaan produksi harus dengan persetujuan pemerintah. Sebagaimana disebutkan juga dalam Pasal 33 UUD 1945 yang mengamanatkan bahwa perekonomian Indonesia akan ditopang oleh 3 pemain utama yaitu koperasi, BUMN/D (Badan Usaha Milik Negara/Daerah), dan swasta yang akan mewujudkan demokrasi ekonomi yang becirikan mekanisme pasar, serta intervensi pemerintah, serta pengakuan terhadap hak milik perseorangan. Penafsiran dari kalimat “dikuasai oleh negara” dalam ayat (2) dan (3) tidak selalu dalam bentuk kepemilikan tetapi utamanya dalam bentuk kemampuan untuk melakukan control dan pengaturan serta memberikan pengaruh agar perusahaan tetap berpegang pada azas kepentingan mayoritas masyarakat dan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
4.       Dampak dari consumer loss dalam putusan kasus pelanggaran Undang-Undang No.5 Tahun 1999
a.       Dalam Pasal 2 Undang-Undang No.5 Tahun 1999 disebutkan : ” Pelaku usaha di Indonesia dalam menjalan kegiatan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi dengan memperhatikan keseimbangan antara kepentingan pelaku usaha dan kepentingan umum”.
Pasal 3 Undang-Undang No.5 Tahun 1999, menyatakan : ”Tujuan pembentukan Undang-Undang ini adalah untuk :
1)      Menjaga kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi nasional sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.
2)      Mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui pengaturan persaingan usaha yang sehat sehingga menjamin adanya kepastian kesempatan berusaha yang sama bagi pelaku usaha besar, pelaku usaha menengah, dan pelaku usaha kecil
3)      Mencegah praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat yang ditimbulkan oleh pelaku usaha, dan
4)      Terciptanya efektivitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha.
Dari kedua pasal tersebut terdapat dua poin penting. Pertama, penciptaan persaingan usaha yang sehat. Kedua, kemakmuran rakyat.  Terkait dengan kemakmuran rakyat yang jika diperluas lagi akan ditemukan kaitan dengan perlindungan konsumen karena pada akhirnya terciptanya persaingan usaha yang sehat juga untuk melindungi dan memberi keuntungan pada konsumen luas.  Keterkaitan hukum (legal linkage) antara persaingan usaha dan perlindungan konsumen menjadi sebuah terobosan apabila ditinjau dalam konteks UU Persaingan Usaha (UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat), karena UU Persaingan Usaha tidak secara eksplisit mengatur keterkaitan antara larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat sebagai bentuk atau langkah untuk melindungi kepentingan konsumen. Diprioritaskannya kepentingan konsumen dalam penilaian atas pelanggaran Pasal 27 UU Persaingan seperti contoh kasus Temasek menjadi ‘sesuatu yang baru’ dalam penggunaan kewenangan KPPU karena :
1)       Sangat jarang ditemukan kepentingan konsumen menjadi prioritas dalam pengambilan keputusan;
2)      Minimnya pengaturan dalam UU Persaingan Usaha yang mengacu pada kepentingan konsumen. Bahkan dalam UU Persaingan Usaha hanya terdapat 6 (enam) kata ‘konsumen’ yang digunakan, dimana 3 (dua) diantaranya terdapat pada pengaturan pasal per pasal (penetapan harga, penguasaan pasar, dan posisi dominan) dan 3 (empat) lainnya terdapat pada bagian umum.
b.      Class action atas putusan kasus pelanggaran Undang-Undang No.5 Tahun 1999 pernah terjadi dalam kasus Temasek. Pada prinsipnya gugatan class actions merupakan suatu cara untuk memudahkan pencari keadilan untuk mendapatkan pemulihan hak hukum yang dilanggar melalui jalur keperdataan. Bahwa sangatlah tidak praktis apabila kasus yang menimbulkan kerugian terhadap banyak orang, memiliki fakta-fakta atau dasar hukum, serta tergugat yang sama, diajukan secara sendiri-sendiri sehingga menimbulkan ketidakefisienan bagi para pihak yang mengalami kerugian, maupun pihak tergugat bahkan kepada pengadilan sendiri. Acara gugatan class action di Indonesia belum diatur dalam hukum acara perdata, tetapi pengakuan secara hukum adanya gugatan class actions telah diakui dan diatur dalam :
1)      Pasal 37 Undang-Undang No.23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.
2)      Pasal 71 Undang-Undang No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
3)      Pasal 46 ayat (1) Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
4)      Pasal 15 Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal
5)      Pasal 74 Undang-Undang No.40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
Disamping kelima Undang-Undang tersebut, pelanggaran terhadap Undang-Undang No.10 Tahun 1997 tentang ketenagaan nuklir dan Undang-Undang No.14 Tahun 2008 tentang pengelolaan sampah juga berpotensi untuk menimbulkan kerugian dalam masyarakat, namun Undang-Undang tersebut belum mengatur dengan jelas mengenai gugatan class action seperti yang ditentukan dalam kelima Undang-Undang tersebut diatas.
Walaupun pengetauran terkait class action hanya diterangkan dalam Undang-Undang tersebut diatas akan tetapi mekanisme gugatan class actions dapat diterapkan untuk segala jenis gugatan sepanjang memenuhi persyaratan mekanisme gugatan class actions. Sehingga untuk hukum persaingan usaha dimana kelangsungannya memiliki dampak terhadap kepentingan masyarakat, maka gugatan class action dapat dilakukan dengan pertimbangan-pertimbangan yang intinya telah terjadi consumer loss atau kerugian konsumen dari praktik persaingan usaha yang tidak sehat.

Analisa Kasus Kartel (Hukum Antimonopoli)

1.      Fakta-fakta terkait kasus Kartel :
v  Hanya terdapat beberapa pelaku usaha di suatu daerah oleh karena industri yang oligopolistik tersebut membutuhkan modal dan sunk cost yang sangat besar, sehingga tidak banyak pelaku usaha yang ingin berpartisipasi dalam industri tersebut.
v  Industri tersebut sangat vital, sehingga kemudian pemerintah memerintahkan agar pelaku usaha mewadahinya dalam suatu asosiasi untuk kebutuhan pemerintah dalam memperoleh data terkait industri tersebut.
v  Data diperoleh dari rapat atau pertemuan teknis membahas mengenai volume produksi, kebutuhan pasar dan rencana produksi.
v  Anggota asosiasi terdiri dari 8 produsen produk X dan telah berlangsung selama bertahun-tahun melakukan kegiatan dan pertemuan tanpa mempunyai pretensi bahwa pertemuan atau perbuatan tersebut rencan terhadap pelanggaran Hukum Persaingan Usaha.
v  Suatu saat terjadi kelangkaan produk X dan KPPU menduga telah terjadi kartel yang difasilitasi melalui pertemuan asosiasi tersebut.
Atas fakta-fakta tersebut, kemungkinan asosiasi melanggar Pasal 11 Undang-Undang No.5 Tahun 1999 : “ Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian, dengan pelaku usaha pesaingnya, yang bermaksud untuk mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan atau pemasaran suatu barang dan atau jasa, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.” Perbuatan tersebut dikenal dengan istilah kartel, praktek kartel merupakan salah satu strategi yang diterapkan diantara pelaku usaha untuk dapat mempengaruhi harga dengan mengatur jumlah produksi mereka. Dengan asumsi jika produksi didalam pasar dikurangi sedangkan permintaan terhadap produk mereka di dalam pasar tetap, akan berakibat kepada naiknya harga ke tingkat yang lebih tinggi. Sebaliknya, jika didalam pasar produk melimpah, maka akan berdampak terhadap penurunan harga produk di pasar. Biasanya praktek kartel dapat tumbuh dan berkembang pada pasar yang berstruktur oligopoli, dimana lebih mudah untuk bersatu dan menguasai sebagian besar pangsa pasar.
2.    Pada umumnya terdapat beberapa karakteristik dari kartel :
v  Pertama, terdapat konspirasi antara beberapa pelaku usaha.
v  Kedua, melakukan penetapan harga.
v  Ketiga, agar penetapan harga dapat efektif, maka dilakukan pula alokasi konsumen atau produksi atau wilayah.
v  Keempat, adanya perbedaan kepentingan diantara pelaku usaha misalnya karena perbedaan biaya.
Hal-hal yang menjadi kesepakatan kartel pada umunya telah diatur juga dalam Undang-Undang No.5 Tahun 1999, yaitu :
v  Pasal 1 angka 7 : “Perjanjian adalah suatu perbuatan satu atau lebih pelaku usaha untuk mengikatkan diri terhadap satu atau lebih pelaku usaha lain dengan nama apapun, baik tertulis maupun tidak tertulis.”
Akar dari seluruh kesepatan dapat diwakili oleh definisi perjanjian ini, sebab adanya kartel sendiri merupakan bentuk perjanjian dengan tujuan tertentu yang telah disepakati bersama.
v  Pasal 4 :
Ayat (1) : “Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain untuk secara bersama-sama melakukan penguasaan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.”
Ayat (2) : “Pelaku usaha patut diduga atau dianggap secara bersama-sama melakukan penguasaan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa, sebagaimana dimaksud ayat (1), apabila 2 (dua) atau 3 (tiga) pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 75% (tujuh puluh lima persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.”
Pasal ini memberikan gambaran bahwa praktek kartel lebih mudah dilakukan pada jenis pasar oligopoli.
v  Pasal 5 :
Ayat (1) : “Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga atas suatu barang dan atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen atau pelanggan pada pasar bersangkutan yang sama.”
Ayat (2) : “Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku bagi :
a.         Suatu perjanjian yang dibuat dalam suatu usaha patungan; atau
b.        Suatu perjanjian yang didasarkan undang-undang yang berlaku.”
Penetapan harga merupakan salah satu kejahatan yang paling sering dilakukan dalam kartel dengan tujuan untuk menghasilkan laba yang setinggi-tingginya. Penetapan harga yang dilakukan di antara pelaku usaha akan meniadakan persaingan dari segi harga bagi produk yang dijual atau dipasarkan dan merupakan praktek persaingan usaha tidak sehat.
v  Pasal 9 : “ Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang bertujuan untuk membagi wilayah pemasaran atau alokasi pasar terhadap barang dan atau jasa sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.”
Pelaku usaha membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk membagi wilayah pemasaran atau alokasi pasar adalah salah satu cara yang dilakukan untuk menghindari terjadinya persaingan di antara mereka. Melalui pembagian wilayah, para pelaku usaha dapat menguasai wilayah pemasaran atau alokasi pasar yang menjadi bagiannya tanpa harus menghadapi persaingan. Dengan demikian, akan mudah bagi pelaku usaha untuk menaikkan harga ataupun menurunkan produksinya atau barang yang dijual untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya. Pembagian wilayah akan berakibat kepada ekploitasi terhadap konsumen, dimana konsumen tidak mempunyai pilihan yang cukup baik dari segi barang maupun harga.
v  Pasal 10 :
Ayat (1) : “Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian, dengan pelaku usaha pesaingnya, yang dapat menghalangi pelaku usaha lain untuk melakukan usaha yang sama, baik untuk tujuan pasar dalam negeri maupun pasar luar negeri.”
Ayat (2) : “ Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya, untuk menolak menjual setiap barang dan atau jasa dari pelaku usaha lain sehingga perbuatan tersebut :
a.       Merugikan atau dapat diduga akan merugikan pelaku usaha lain; atau
b.      Membatasi pelaku usaha lain dalam menjual atau membeli setiap barang dan atau jasa dari pasar bersangkutan.”
Perjanjian pemboikotan merupakan salah satu bentuk usaha yang dilakukan para pelaku usaha untuk mengeluarkan pelaku usaha lain dari pasar yang sama atau juga untuk mencegah pelaku usaha yang berpotensi menjadi pesaing untuk masuk kedalam pasar yang sama, yang kemudian pasar tersebut dapat terjaga hanya untuk kepentingan pelaku usaha yang terlibat dalam perjanjian pemboikotan tersebut. Dengan adanya perjanjian pemboikotan akan membuat jumlah pelaku usaha yang ada di pasar tidak dapat bertambah, apabila di dalam suatu pasar hanya terdapat sedikit pelaku usaha yang menjalankan usahanya dapat berdampak terhadap berkurangnya pilihan konsumen untuk memilih pelaku usaha yang kemungkinan dapat memberikan kepuasan terbesar kepada konsumen.
3.    Seringkali asosiasi dagang digunakan sebagai kamuflase dilakukan pertemuan-pertemuan legal, namun asosiasi sendiri merupakan wadah perkumpulan para pelaku usaha yang sebenarnya banyak memberi manfaat bagi perkembangan usaha selama dijalankan dengan itikad baik. Tukar menukar informasi antar pelaku usaha tidaklah dilarang oleh undang-undang.  Kartel merupakan perjanjian yang dibuat oleh sekelompok pelaku usaha yang tidak mesti tergabung dalam suatu asosiasi resmi, sehingga tidak tepat dikatakan jika suatu asosiasi otomatis telah memfasilitasi kartel. Perumusan kartel secara rule of reason oleh pembentuk Undang-Undang No.5 Tahun 1999 dapat diartikan pelaku usaha dapat membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang bermaksud untuk mempengaruhi harga dengan mengatur produksi atau pemasaran suatu barang atau jasa asalkan tidak mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Dalam hal ini dapat diartikan pembentuk undang-undang persaingan usaha melihat bahwa sebenarnya tidak semua perjanjian kartel dapat menyebabkan persaingan usaha tidak sehat, seperti misalnya perjanjian kartel dalam bentuk mengisyaratkan untuk produk-produk tertentu harus memenuhi syarat-syarat tertentu yang bertujuan untuk melindungi konsumen dari produk yang tidak layak atau dapat membahayakan keselamatan konsumen dan tujuannya tidak menghambat persaingan, pembuat undang-undang persaingan usaha mentolerir perjanjian kartel seperti itu.
4.    Pelanggaran yang dilakukan oleh suatu asosiasi terhadap Undang-Undang No.5 Tahun 1999 harus dilihat dari perbuatan-perbuatannya, dan tidak bergantung pada instruksi pemerintah. Selama asosiasi tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh Undang-Undang dan tidak memenuhi unsur-unsur pelanggaran (rule of reason) sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No.5 Tahun 1999, maka ada tidaknya instruksi pemerintah tidak akan berpengaruh pada asosiasi.
5.    Faktor yang mempengaruhi kesepakatan Kartel yang juga menjadi indicator awal identifikasi kartel dapat terjadi melalui :
a.       Factor struktural,
1)      Tingkat konsentrasi dan jumlah perusahaan. Kartel akan lebih mudah jika jumlah perusahaan tidak terlalu banyak. Indikator tingkat rasio konsentrasi perusahaan adalah persentase dari total pangsa pasar yang dimiliki oleh perusahaan. Persentase tersebut menunjukan posisi perusahaan dalam berkompetisi dengan perusahaan lain pada pasar bersangkutan. Pemusatan kekuatan ekonomi atau konsentrasi pasar menunjukkan adanya pertumbuhan perusahaan dalam skala besar, dan terjadinya penurunan tingkat kompetisi pada pasar bersangkutan.
2)      Ukuran perusahaan. Kartel terbentuk jika pelopornya adalah beberapa perusahaan dengan ukuran yang setara. Hal ini akan memudahkan pembagian kuota produksi atau tingkat harga yang disepakati dapat dicapai dengan lebih mudah dikarenakan kapasitas produksi dan tingkat biaya produksi semua perusahaan tidak jauh berbeda.
3)      Homogenitas produk. Produk yang homogeny, baik berupa barang atau jasa, menyebabkan preferensi konsumen terhadap seluruh produk menjadi tidak jauh berbeda. Ini menyebabkan persaingan harga sebagai satu-satunya variable persaingan yang efektif. Dengan demikian dorongan para pelaku usaha untuk bersepakat membentuk kartel akan semakin kuat untuk menghindari perang harga yang dapat menurunkan tingkat keuntungan para pelaku usaha tersebut.
4)      Kontak multi-pasar. Pemasaran yang luas dari suatu produk memungkinkan terjadinya kontak multi-pasar dengan pesaingnya yang juga memiliki tujuan pasar yang luas. Kontak yang dilakukan berkali-kali dapat mendorong pelaku usaha yang seharusnya bersaing justru melakukan kolaborasi dengan cara alokasi wilayah ataupun harga.
5)      Persediaan dan kapasitas produksi. Persediaan yang berlebihan di pasar menunjukkan telah terjadi kelebihan penawaran.
6)      Keterkaitan kepemilikan. Keterkaitan kepemilikan baik minoritas maupun mayoritas mendorong pelaku usaha untuk memaksimalkan keuntungan melalui harmonisasi perilaku di antara perusahaan yang mereka kendalikan. Pemegang saham dua atau lebih perusahaan yang semestinya bersaing cenderung memanfaatkan kepemilikan silang untuk memperkuat kartel dengan tujuan untuk memaksimalkan keuntungan.
7)      Kemudahan untuk masuk pasar. Tingginya entry barrier sebagai hambatan bagi perusahaan baru untuk masuk pasar akan memperkuat keberadaan kartel.
8)      Karakter permintaan, keteraturan, elastisitas & perubahan. Permintaan yang teratur dan inelastisitas dengan pertumbuhan yang stabil akan memberikan jalan terbentuknya kartel.
9)      Kekuatan tawar pembeli. Pembeli dengan posisi tawar yang kuat akan dapat melemahkan kartel, bahkan membubarkannya.
b.      Faktor perilaku :
1)      Transparansi dan pertukaran informasi. Kartel akan mudah terbentuk jika para pelaku usaha terbiasa dengan pertukaran informasi dan transparansi di antara mereka. Peranan asosiasi sangat kuat karena merupakan media pertukaran informasi tersebut. Data produksi dan harga jual secara periodic dikirimkan ke asosiasi sebagai upaya kepatuhan terhadap kesepakatan kartel. Pertukaran informasi dan data dapat dilakukan tanpa asosiasi, yang justru semakin mencurigakan karena sesame pelaku usaha pesaing saling memberikan informasi harga dan data produksi.
2)  Peraturan harga dan kontrak. Perilaku pengaturan harga dan kontrak dapat memperkuat adanya kartel di suatu industry. Kebijakan one price policy merupakan alat control yang efektif antar anggota kartel terhadap kesepakatan kartel.