Kamis, 16 Februari 2012

Pembentukan dan Perubahan Hukum Positif Melalui Perspektif Hukum Sosiologi


Banyak persoalan hukum dewasa ini tidak dapat memuaskan jika hanya diselesaikan oleh sektor hukum secara normatif. Diperlukan pendekatan yang lebih komprehensif terutama dengan mengkaji melalui ilmu sosiologi karena ilmu sosiologi merupakan induk dari segala ilmu yang berkenaan dengan kemasyarakatan, sementara ilmu hukum berbicara tentang nilai-nilai luhur yang harus dimiliki oleh masyarakat. Sosiologi hukum menekankan pada terciptanya rasa keadilan dalam masyarakat. Dimana rasa keadilan tersebut bersumber dari hati nurani manusia. Adagium “summum jus, summan injuria” yang maksudnya bahwa keadilan tertinggi merupakan ketidakadilan tertinggi, merupakan gambaran bahwa manusia merupakan makhluk yang tidak pernah puas, makhluk yang memiliki ego yang selalu mengutamakan kepentingannya sendiri, sehingga akan selalu terdapat konflik kepentingan antar individu. Tetapi selain itu, bahwa manusia tercipta sebagai makhluk sosial yang dikaruniai dengan hati nurani, maka tepatlah jika hukum itu dibuat untuk menciptakan keadilan manusia sebagai makhluk sosial, bukan sebagai individu mengingat sifat hukum sendiri yang subjektif, individualistic dan causistis. Tercapainya keadilan bukan semata-mata tujuan hukum, melainkan tercapainya keadilan diharapkan akan menciptakan suatu kondisi yang memberikan keamanan, ketertiban juga kenyamanan dalam bermasyarakat. Tujuan hukum baru akan tercapai jika proses penegakan hukum tidak semata-mata didasarkan pada norma-norma atau aturan-aturan baku saja, akan tetapi juga dapat memenuhi rasa keadilan masyarakat.
Menurut Achmad Ali (1998: 11): “….sosiologi hukum menekankan kajian pada law in action, hukum dalam kenyataannya, hukum sebagai tingkah laku manusia, yang berarti berada di dunia sein. Sosiologi hukum menggunakan pendekatan empiris yang bersifat deskriptif…”.
Banyak kasus yang bergulir saat ini mencontohkan bahwa saat ini hukum yang ada hanya sebatas pada penegakan aturan tertulis saja, dihukumnya para terdakwa hanya menambah rasa haus masyarakat akan keadilan dan ketidaktepatan aparat dalam menegakkan hukum justru memicu munculnya kejahatan-kejahatan baru. Hakim yang seharusnya menjadi corong keadilan tidak jarang justru menyuarakan putusan yang melukai hati masyarakat. Tidak perlu melakukan kajian hukum untuk melihat tidak terpenuhinya rasa keadilan masyarakat terhadap penegakan hukum di Indonesia yang masih tebang pilih. Dimana rakyat kecil akan mendapatkan hukuman yang sangat berat untuk kejahatan kecil sedangkan kalangan yang memiliki kuasa dan uang hanya akan mendapat hukuman ringan atas kejahatan besar yang tidak saja merugikan orang lain tapi juga Negara.
Ajaran-ajaran aliran sociological jurisprudence berkembang dan menjadi populer di Amerika Serikat terutama atas jasa Roscoe Pound yang berpendapat bahwa hukum harus dilihat atau dipandang sebagai suatu lembaga kemasyarakatan yang berfungsi untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan sosial dan tugas dari ilmu hukum untuk mengembangkan suatu kerangka yang mana kebutuhan-kebutuhan sosial dapat terpenuhi secara maksimal. Pound kemudian menganjurkan untuk mempelajari hukum sebagai suatu proses (law in action) yang dibedakan dengan hukum tertulis (law in the books). Pound mengakui bahwa hukum hanyalah merupakan salah satu alat pengendalian sosial (social control), bahkan hukum selalu menghadapi tantangan dari pertentangan kepentingan-kepentingan. Kecuali, dia berusaha untuk menyusun suatu kerangka dari nilai-nilai dalam masyarakat yang harus dipertahankan oleh hukum di dalam menghadapi pertentangan kepentingan-kepentingan.
Hukum merupakan abstraksi dari interaksi sosial dinamis di dalam kelompok-kelompok sosial, interaksi sosial yang dinamis tersebut lama-kelamaan karena pengalaman, menjadi nilai-nilai sosial yaitu konsepsi-konsepsi abstrak yang hidup di dalam alam pikiran bagian terbesar warga masyarakat tentang apa yang dianggap baik dan tidak baik dalam pergaulan hidup.
Kekuasaan mempunyai peranan yang sangat penting, baik-buruknya kekuasaan senantiasa harus diukur dengan kegunaannya untuk mencapai suatu tujuan yang telah ditentukan atau disadari oleh masyarakat. Kekuasaan bermakna kemampuan untuk mempengaruhi pihak lain menurut kehendak yang ada pada pemegang kekuasaan. Perbedaan antara kekuasaan dengan wewenang adalah setiap kemampuan untuk mempengaruhi pihak lain dapat dinamakan kekuasaan, sedangkan wewenang adalah kekuasaan yang ada pada seseorang atau sekelompok orang yang mempunyai dukungan atau mendapat pengakuan dari masyarakat. Adanya wewenang hanya dapat menjadi efektif apabila didukung dengan kekuasaan yang nyata. Apabila kekuasaan dihubungkan dengan hukum, maka paling tidak terdapat dua hal yang menonjol, pertama para pembentuk, penegak maupun pelaksana hukum adalah para warga masyarakat yang mempunyai kedudukan yang mengandung unsure-unsur kekuasaan. Akan tetapi, mereka tak dapat mempergunakan kekuasaannya dengan sewenang-wenang karena ada pembatasan tentang peranan yang ditentukan oleh cita-cita keadilan masyarakat dan oleh pembatasan-pembatasan praktis dari penggunaan kekuasaan itu sendiri. Sistem hukum merupakan suatu sarana bagi penguasa untuk mengadakan tata tertib dalam masyarakat atau untuk mempertahankan serta menambah kekuasaannya walaupun penggunaan hukum untuk maksud tersebut ada juga batas-batasnya. Hal yang kedua adalah, sistem hukum antara lain menciptakan dan merumuskan hak dan kewajiban beserta pelaksanaannya.
Dapat disimpulkan bahwa kekuasaan dan hukum mempunyai hubungan timbal balik, di satu pihak hukum memberi batas kekuasaan dan di lain pihak kekuasaan merupakan suatu jaminan berlakunya hukum. Melalui suatu sistem hukum, hak dan kewajiban ditetapkan untuk warga masyarakat yang menduduki posisi tertentu atau kepada seluruh masyarakat. Sejalan dengan itu, kebebasan yang diberikan kepada golongan-golongan tertentu, menyebabkan pembatasan pada golongan lainnya. Dengan demikian, dapatlah dikatakan bahwa hukum merupakan refleksi dari pembagian kekuasaan dan memberi pengaruh terhadap sistem lapisan sosial dalam masyarakat.  
Keadilan sendiri walaupun tidak ada tolak ukurnya namun berdasarkan hati nurani akan dapat juga diperoleh keadilan bagi seluruh rakyat. Di dalam proses perubahan hukum pada umumnya dikenal adanya tiga badan yang dapat mengubah hukum, yaitu badan-badan pembentuk hukum, badan-badan penegak hukum dan badan-badan pelaksana hukum. Ketiga fungsi tersebut dijalankan dan merupakan saluran-saluran melalui mana hukum mengalami perubahan-perubahan. Pengaturan perubahan hukum tersebut diatur dalam UUD 1945 dimana dinyatakan bahwa kekuasaan untuk membentuk dan mengubah UUD ada pada MPR (pasal 3 yo pasal 37). Sedangkan kekuasaan untuk membentuk undang-undang serta peraturan lainnya yang derajatnya dibawah undang-undang ada di tangan Pemerintah dan DPR (Bab III dan Bab VII UUD 1945). Kekuasaan kehakiman antara lain mempunyai fungsi untuk membentuk hukum. Didalam Pasal 27 ayat (1) UU No. 14/1970 dinyatakan bahwa hakim sebagai penegak hukum dan keadilan diwajibkan untuk menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup didalam masyarakat. Adanya ketentuan tersebut membuktikan bahwa tugas hakim tidak saja terbatas pada mengadili berdasarkan hukum yang ada, akan tetapi juga mencari dan menemukan hukum untuk kemudian dituangkan didalam keputusan nilai-nilai hukum yang terdapat dalam masyarakat. Oleh karena terdapat pemisahan badan yang berperan dalam perubahan hukum, dapat disimpulkan bahwa perubahan hukum dapat tetap terjadi sekalipun karena faktor-faktor prosedural suatu badan mengalami kemacetan, karena badan-badan lainnya dapat melaksanakan perubahan-perubahan tersebut. Dalam praktek hukum yang terjadi di Indonesia saat ini, nampak jelas bahwa peran hakim baru pada tahap “corong undang-undang” dimana putusan hanya berdasarkan penafsiran pada hukum secara normatif tanpa memperhatikan unsur-unsur keadilan. Tidak terpenuhinya unsur keadilan dapat menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat atas hukum, hal ini tentu tidak diharapkan sebab akan memicu gejolak di masyarakat yang dapat menimbulkan chaos. Sebagaimana hal yang baru saja terjadi dimana seorang mahasiswa membakar diri di depan istana Negara akibat keputusasaannya pada pemerintah yang tidak lagi berpihak pada rakyatnya. Korupsi terjadi hampir di setiap lapisan pemerintahan, SDA dikuras habis oleh asing, hukum yang tebang pilih dan tidak terpenuhinya hampir seluruh cita-cita bangsa sebagaimana tertuang dalam UUD 1945. Hati Nurani masyarakat dikoyak oleh adanya kasus-kasus yang semakin menunjukkan bahwa hukum sudah teramputasi dari unsur-unsurnya (Idee des Recht). Tidak termuatnya unsur-unsur hukum dalam  fondasi hukum Negara Indonesia saat ini membuat Negara menjadi kacau. Hukum tidak dapat digunakan sebagai tools of social engineering karena hukum justru digunakan hanya sebagai alat untuk mempermulus jalan orang-orang yang berkuasa dalam menjalankan kehendaknya. Hukum tidak menjadi panglima tetapi menjadi boneka dan kehilangan ruh nya. Banyaknya permasalahan hukum saat ini terutama disebabkan berbagai hal mulai dari sistem peradilan, perangkat hukum dan tidak konsistennya para aparat penegak hukum terhadap hukum itu sendiri serta intervensi kekuasaan maupun perlindungan hukum terhadap masyarakatnya. Permasalahan hukum yang paling sering dan membudaya dalam negara ini adalah ketidakkonsistenan para aparat penegak hukum terhadap hukum dan peraturan yang sah dan sudah tertulis jelas dalam undang-undang juga diskriminasi hukum yang jelas-jelas melanggar asas persamaan derajat manusia dimata hukum.
Hukum bagaimanapun merupakan produk politik, sekalipun dalam teori hukum sendiri dikenal suatu ajaran mengenai teori hukum murni yang dipopulerkan oleh Hans Kelsen, dimana hukum harusnya terbebas dari unsur-unsur lain diluar hukum pada praktiknya sulit untuk diterapkan. Kesemrawutan praktik hukum bukan merupakan hasil penyelenggaraan yang sepenuhnya buruk, hal tersebut hanya dilakukan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab. Tetapi untuk membangun sistem hukum yang kuat dan sehat harus dibangun dari seluruh aspek (badan pembentuk hukum, aparatur penegak hukum dan masyarakat yang sadar dan taat hukum) tidak dapat berdiri sendiri. Pembentukan hukum harus dapat menangkap gejala-gejala sosial yang ada di masyarakat agar dapat diketahui, bagian mana yang harus di update sesuai realita (selama kaidah dan asas yang dianut sesuai) dan bagian mana yang sudah tidak perlu dicantumkan lagi dalam peraturan oleh karena sudah tidak memiliki nilai manfaat. Dengan hal tersebut diharapkan kehidupan warga negara menjadi lebih aman, tertib dan teratur. Namun pada dasarnya semua hal tersebut akan terwujud jika masyarakat bersama aparat penegak hukum beserta pemerintah mampu menegakkan supremasi hukum yang sesungguhnya di negeri ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar