Banyak
persoalan hukum dewasa ini tidak dapat memuaskan jika hanya diselesaikan oleh sektor
hukum secara normatif. Diperlukan pendekatan yang lebih komprehensif terutama
dengan mengkaji melalui ilmu sosiologi karena ilmu sosiologi merupakan induk
dari segala ilmu yang berkenaan dengan kemasyarakatan, sementara ilmu hukum
berbicara tentang nilai-nilai luhur yang harus dimiliki oleh masyarakat. Sosiologi
hukum menekankan pada terciptanya rasa keadilan dalam masyarakat. Dimana rasa
keadilan tersebut bersumber dari hati nurani manusia. Adagium “summum jus, summan injuria” yang maksudnya
bahwa keadilan tertinggi merupakan ketidakadilan tertinggi, merupakan gambaran
bahwa manusia merupakan makhluk yang tidak pernah puas, makhluk yang memiliki
ego yang selalu mengutamakan kepentingannya sendiri, sehingga akan selalu
terdapat konflik kepentingan antar individu. Tetapi selain itu, bahwa manusia
tercipta sebagai makhluk sosial yang dikaruniai dengan hati nurani, maka
tepatlah jika hukum itu dibuat untuk menciptakan keadilan manusia sebagai
makhluk sosial, bukan sebagai individu mengingat sifat hukum sendiri yang
subjektif, individualistic dan causistis. Tercapainya keadilan bukan
semata-mata tujuan hukum, melainkan tercapainya keadilan diharapkan akan
menciptakan suatu kondisi yang memberikan keamanan, ketertiban juga kenyamanan
dalam bermasyarakat. Tujuan hukum baru akan tercapai jika proses penegakan
hukum tidak semata-mata didasarkan pada norma-norma atau aturan-aturan baku
saja, akan tetapi juga dapat memenuhi rasa keadilan masyarakat.
Menurut
Achmad Ali (1998: 11): “….sosiologi hukum menekankan kajian pada law in action, hukum dalam kenyataannya,
hukum sebagai tingkah laku manusia, yang berarti berada di dunia sein. Sosiologi hukum menggunakan
pendekatan empiris yang bersifat deskriptif…”.
Banyak kasus
yang bergulir saat ini mencontohkan bahwa saat ini hukum yang ada hanya sebatas
pada penegakan aturan tertulis saja, dihukumnya para terdakwa hanya menambah
rasa haus masyarakat akan keadilan dan ketidaktepatan aparat dalam menegakkan
hukum justru memicu munculnya kejahatan-kejahatan baru. Hakim yang seharusnya
menjadi corong keadilan tidak jarang justru menyuarakan putusan yang melukai
hati masyarakat. Tidak perlu melakukan kajian hukum untuk melihat tidak
terpenuhinya rasa keadilan masyarakat terhadap penegakan hukum di Indonesia
yang masih tebang pilih. Dimana rakyat kecil akan mendapatkan hukuman yang
sangat berat untuk kejahatan kecil sedangkan kalangan yang memiliki kuasa dan
uang hanya akan mendapat hukuman ringan atas kejahatan besar yang tidak saja
merugikan orang lain tapi juga Negara.
Ajaran-ajaran
aliran sociological jurisprudence
berkembang dan menjadi populer di Amerika Serikat terutama atas jasa Roscoe
Pound yang berpendapat bahwa hukum harus dilihat atau dipandang sebagai suatu
lembaga kemasyarakatan yang berfungsi untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan sosial
dan tugas dari ilmu hukum untuk mengembangkan suatu kerangka yang mana
kebutuhan-kebutuhan sosial dapat terpenuhi secara maksimal. Pound kemudian
menganjurkan untuk mempelajari hukum sebagai suatu proses (law in action) yang dibedakan dengan hukum tertulis (law in the books). Pound mengakui bahwa
hukum hanyalah merupakan salah satu alat pengendalian sosial (social control), bahkan hukum selalu
menghadapi tantangan dari pertentangan kepentingan-kepentingan. Kecuali, dia
berusaha untuk menyusun suatu kerangka dari nilai-nilai dalam masyarakat yang
harus dipertahankan oleh hukum di dalam menghadapi pertentangan kepentingan-kepentingan.
Hukum
merupakan abstraksi dari interaksi sosial dinamis di dalam kelompok-kelompok
sosial, interaksi sosial yang dinamis tersebut lama-kelamaan karena pengalaman,
menjadi nilai-nilai sosial yaitu konsepsi-konsepsi abstrak yang hidup di dalam
alam pikiran bagian terbesar warga masyarakat tentang apa yang dianggap baik
dan tidak baik dalam pergaulan hidup.
Kekuasaan
mempunyai peranan yang sangat penting, baik-buruknya kekuasaan senantiasa harus
diukur dengan kegunaannya untuk mencapai suatu tujuan yang telah ditentukan
atau disadari oleh masyarakat. Kekuasaan bermakna kemampuan untuk mempengaruhi
pihak lain menurut kehendak yang ada pada pemegang kekuasaan. Perbedaan antara
kekuasaan dengan wewenang adalah setiap kemampuan untuk mempengaruhi pihak lain
dapat dinamakan kekuasaan, sedangkan wewenang adalah kekuasaan yang ada pada
seseorang atau sekelompok orang yang mempunyai dukungan atau mendapat pengakuan
dari masyarakat. Adanya wewenang hanya dapat menjadi efektif apabila didukung
dengan kekuasaan yang nyata. Apabila kekuasaan dihubungkan dengan hukum, maka
paling tidak terdapat dua hal yang menonjol, pertama para pembentuk, penegak
maupun pelaksana hukum adalah para warga masyarakat yang mempunyai kedudukan
yang mengandung unsure-unsur kekuasaan. Akan tetapi, mereka tak dapat
mempergunakan kekuasaannya dengan sewenang-wenang karena ada pembatasan tentang
peranan yang ditentukan oleh cita-cita keadilan masyarakat dan oleh
pembatasan-pembatasan praktis dari penggunaan kekuasaan itu sendiri. Sistem hukum
merupakan suatu sarana bagi penguasa untuk mengadakan tata tertib dalam
masyarakat atau untuk mempertahankan serta menambah kekuasaannya walaupun
penggunaan hukum untuk maksud tersebut ada juga batas-batasnya. Hal yang kedua
adalah, sistem hukum antara lain menciptakan dan merumuskan hak dan kewajiban
beserta pelaksanaannya.
Dapat
disimpulkan bahwa kekuasaan dan hukum mempunyai hubungan timbal balik, di satu
pihak hukum memberi batas kekuasaan dan di lain pihak kekuasaan merupakan suatu
jaminan berlakunya hukum. Melalui suatu sistem hukum, hak dan kewajiban
ditetapkan untuk warga masyarakat yang menduduki posisi tertentu atau kepada
seluruh masyarakat. Sejalan dengan itu, kebebasan yang diberikan kepada
golongan-golongan tertentu, menyebabkan pembatasan pada golongan lainnya.
Dengan demikian, dapatlah dikatakan bahwa hukum merupakan refleksi dari
pembagian kekuasaan dan memberi pengaruh terhadap sistem lapisan sosial dalam
masyarakat.
Keadilan sendiri walaupun tidak ada tolak ukurnya namun berdasarkan
hati nurani
akan dapat juga diperoleh keadilan bagi seluruh rakyat. Di dalam proses
perubahan hukum pada umumnya dikenal adanya tiga badan yang dapat mengubah
hukum, yaitu badan-badan pembentuk hukum, badan-badan penegak hukum dan
badan-badan pelaksana hukum. Ketiga fungsi tersebut dijalankan dan merupakan
saluran-saluran melalui mana hukum mengalami perubahan-perubahan. Pengaturan
perubahan hukum tersebut diatur dalam UUD 1945 dimana dinyatakan bahwa
kekuasaan untuk membentuk dan mengubah UUD ada pada MPR (pasal 3 yo pasal 37).
Sedangkan kekuasaan untuk membentuk undang-undang serta peraturan lainnya yang
derajatnya dibawah undang-undang ada di tangan Pemerintah dan DPR (Bab III dan
Bab VII UUD 1945). Kekuasaan kehakiman antara lain mempunyai fungsi untuk
membentuk hukum. Didalam Pasal 27 ayat (1) UU No. 14/1970 dinyatakan bahwa
hakim sebagai penegak hukum dan keadilan diwajibkan untuk menggali, mengikuti
dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup didalam masyarakat. Adanya ketentuan
tersebut membuktikan bahwa tugas hakim tidak saja terbatas pada mengadili
berdasarkan hukum yang ada, akan tetapi juga mencari dan menemukan hukum untuk
kemudian dituangkan didalam keputusan nilai-nilai hukum yang terdapat dalam
masyarakat. Oleh karena terdapat pemisahan badan yang berperan dalam perubahan
hukum, dapat disimpulkan bahwa perubahan hukum dapat tetap terjadi sekalipun
karena faktor-faktor prosedural suatu badan mengalami kemacetan, karena
badan-badan lainnya dapat melaksanakan perubahan-perubahan tersebut. Dalam praktek hukum yang terjadi di Indonesia
saat ini, nampak jelas bahwa peran hakim baru pada tahap “corong undang-undang”
dimana putusan hanya berdasarkan penafsiran pada hukum secara normatif tanpa
memperhatikan unsur-unsur keadilan. Tidak terpenuhinya unsur keadilan dapat
menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat atas hukum, hal ini tentu tidak
diharapkan sebab akan memicu gejolak di masyarakat yang dapat menimbulkan chaos. Sebagaimana hal yang baru saja
terjadi dimana seorang mahasiswa membakar diri di depan istana Negara akibat
keputusasaannya pada pemerintah yang tidak lagi berpihak pada rakyatnya.
Korupsi terjadi hampir di setiap lapisan pemerintahan, SDA dikuras habis oleh
asing, hukum yang tebang pilih dan tidak terpenuhinya hampir seluruh cita-cita
bangsa sebagaimana tertuang dalam UUD 1945. Hati Nurani masyarakat dikoyak oleh
adanya kasus-kasus yang semakin menunjukkan bahwa hukum sudah teramputasi dari
unsur-unsurnya (Idee des Recht).
Tidak termuatnya unsur-unsur hukum
dalam fondasi hukum Negara Indonesia
saat ini membuat Negara menjadi kacau. Hukum tidak dapat digunakan sebagai tools of social engineering karena hukum
justru digunakan hanya sebagai alat untuk mempermulus jalan orang-orang yang
berkuasa dalam menjalankan kehendaknya. Hukum tidak menjadi panglima tetapi
menjadi boneka dan kehilangan ruh nya. Banyaknya permasalahan hukum saat ini terutama disebabkan berbagai hal
mulai dari sistem peradilan, perangkat hukum dan tidak konsistennya para aparat
penegak hukum terhadap hukum itu sendiri serta intervensi kekuasaan maupun
perlindungan hukum terhadap masyarakatnya. Permasalahan hukum yang paling
sering dan membudaya dalam negara ini adalah ketidakkonsistenan para aparat
penegak hukum terhadap hukum dan peraturan yang sah dan sudah tertulis jelas
dalam undang-undang juga diskriminasi hukum yang jelas-jelas melanggar asas
persamaan derajat manusia dimata hukum.
Hukum
bagaimanapun merupakan produk politik, sekalipun dalam teori hukum sendiri
dikenal suatu ajaran mengenai teori hukum murni yang dipopulerkan oleh Hans
Kelsen, dimana hukum harusnya terbebas dari unsur-unsur lain diluar hukum pada
praktiknya sulit untuk diterapkan. Kesemrawutan praktik hukum bukan merupakan
hasil penyelenggaraan yang sepenuhnya buruk, hal tersebut hanya dilakukan oleh
oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab. Tetapi untuk membangun sistem hukum
yang kuat dan sehat harus dibangun dari seluruh aspek (badan pembentuk hukum,
aparatur penegak hukum dan masyarakat yang sadar dan taat hukum) tidak dapat
berdiri sendiri. Pembentukan hukum harus dapat menangkap gejala-gejala sosial
yang ada di masyarakat agar dapat diketahui, bagian mana yang harus di update
sesuai realita (selama kaidah dan asas yang dianut sesuai) dan bagian mana yang
sudah tidak perlu dicantumkan lagi dalam peraturan oleh karena sudah tidak
memiliki nilai manfaat. Dengan hal tersebut
diharapkan kehidupan warga negara menjadi lebih aman, tertib dan teratur. Namun
pada dasarnya semua hal tersebut akan terwujud jika masyarakat bersama aparat
penegak hukum beserta pemerintah mampu menegakkan supremasi hukum yang
sesungguhnya di negeri ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar