Kamis, 16 Februari 2012

Peranan Sosiologi Hukum Dalam Pembentukan Hukum Positif


Istilah sociologie du coup d’oeil atau sosiologi selayang pandang muncul akibat ilmu sosiologi tidak dapat mempelajari apa yang seharusnya menjadi objek kajiannya, yaitu  masyarakat. Terlalu banyak teori yang tidak saling berkesinambungan dan membentuk kesatuan yang membuat ilmu sosiologi tidak terintegrasi layaknya ilmu sains. Padahal keberadaaan ilmu sosiologi dalam pembentukan sistem dalam masyarakat sangatlah penting.
Pentingnya peranan ilmu sosiologi terutama untuk menjawab permasahalan-permasalahan hukum merupakan fenomena yang sangat jelas terlihat. Karena pada kenyataan saat ini, hukum normatif tidak dapat lagi memenuhi rasa keadilan masyarakat yang merupakan tujuan dari hukum itu sendiri. Diperlukan suplemen agar hukum yang berjalan dapat benar-benar menjadi panglima dalam kehidupan bermasyarakat. Oleh sebab itu diperlukan pendekatan yang lebih komprehensif yang mengkaji lebih dalam keterkaitan ilmu hukum dan ilmu sosiologi. Ilmu sosiologi merupakan induk dari segala ilmu kemasyarakatan, sementara ilmu hukum juga berbicara tentang nilai-nilai luhur yang harus dimiliki masyarakat. Namun secara logis memang tidak mudah menyatukan kedua ilmu tersebut untuk membentuk suatu kajian komprehensif, karena terdapat perbedaan logika internal. Ilmu hukum memiliih pendekatan normatif yang menetapkan prinsip mengenai kepastian hukum dan ilmu sosiologi memilih pendekatan empiris. Konsekuensi hal tersebut yaitu ilmu sosiologi hukum yang diciptakan sebagai penengah atau penghubung logika logis dari ilmu hukum dan ilmu sosiologi diharapkan dapat membantu ilmu hukum untuk memecahkan berbagai masalah kemasyarakatan terutama untuk memenuhi rasa keadilan dalam praktek kehidupan bermasyarakat.
Ilmu sosiologi sebagai ilmu berparadigma plural memiliki minimal tiga paradigma dasar yaitu :
1.      Paradigma fakta sosial
Kenyataan sosial memiliki realita tersendiri, terlepas dari faktor individu yang hidup dalam masayarakat bersangkutan. Muncul dalam wujud berupa :
a.      Struktur sosial
b.      Institusi sosial
Sektor hukum memiliki peran seperti pisau bermata dua. Dimana satu sisi hukum diciptakan untuk melanggengkan dan menjustifikasi keberadaan lembaga-lembaga hukum dan struktur sosial kemasayarakatan yang ada dengan tujuan untuk mempertahankan hegemoni dan kekuasaan dari pihak yang kuat atau pihak penguasa (hukum tanpa kekuasaan adalah angan-angan). Di sisi lain dalam nuansa kaidah hukum dan  penegakan hukum yang lebih egaliter dan dinamis, sektor hukum dapat memainkan peran penting untuk justru menjaga keadilan dan kesetaraan dalam kehidupan masyarakat, menjaga lingkungan dari kerusakan yang ditimbulkan pihak-pihak kuat yang membisniskan lingkungan hidup, melindungi hak asasi manusia, mempertahankan due process of law (kekuasaan tanpa hukum adalah kedzaliman).
2.      Paradigma definisi sosial
Paradigma ini mengajarkan bahwa unsur subjektif dari suatu tindakan sosial bukan merupakan kenyataan sosial yang lepas dari pengaruh individu karena setiap tindakan sosial selalu terkait dengan individu. Sektor hukum seringkali mengabaikan adanya paradigma definisi sosial yang menyebabkan terabaikannya rasa keadilan dalam masyarakat yang sebenarnya merupakan tujuan hukum yang utama. Ketika suatu Undang-Undang dibuat oleh aparat pemerintahan seringkali tidak memperhatikan adanya keanekaragaman persepsi yang timbul dalam masyarakat, sehingga seringkali suatu peraturan sulit dipahami/dimengerti oleh masyarakat. Sementara hukum secara kaku dan mutlak berpegang kepada adagium kuno yaitu teori fiksi yang menganggap semua masyarakat tanpa kecuali dianggap mengetahui undang-undang. Padahal dalam kenyataan keterbatasan pengetahuan masyarakat juga disebabkan sistem pemerintahan sendiri yang tanpa adanya diskursus-diskursus sosial yang membuat masayarakat sadar hukum.
3.      Paradigma perilaku sosial
Menekankan studinya kepada korelasi dan inter relasi antara individu dan lingkungan kemasyarakatan, mengajarkan bahwa tingkah laku individu merupakan elemen terpenting dalam ilmu sosiologi. Dengan melakukan pendekatan secara objektif dan empiris terhadap kenyataan dan perilaku sosial yang ada, menyimpulkan bahwa suatu kenyataan sosial sebenarnya tidak lain dari sekumpulan perilaku-perilaku individu yang nyata dalam masyarakat tersebut. Penerapan teori paradigma akan memberikan horizon yang luas dalam menelaah aspek hukum. Horizon yang luas inilah yang mesti dipertimbangkan bagian demi bagian, misalnya ketika suatu hukum harus dibuat, diperbaiki, diterapkan atau ditegakkan.

Teori dari Emile Durkheim mengenai hubungan antara hukum dengan perubahan sosial menyatakan bahwa hukum merupakan refleksi dari solidaritas sosial dalam masyarakat. Di dalam masyarakat terdapat dua macam solidaritas yaitu yang bersifat mekanis dan yang bersifat organis. Solidaritas yang mekanis terdapat pada masyarakat yang sederhana dan homogen. Solidaritas yang organis terdapat pada masyarakat yang heterogen, dimana terdapat pembagian kerja yang kompleks. Ikatan mayarakat lebih banyak tergantung pada hubungan fungsional antara unsur-unsur yang dihasilkan oleh pembagian kerja.
Pada masyarakat yang didasarkan solidaritas mekanis sistem hukumnya adalah hukum pidana yang bersifat represif. Suatu perbuatan merupakan tindak pidana apabila perbuatan tadi menghina keyakinan-keyakinan yang sudah tertanam dengan kuatnya di dalam masyarakat. Di dalam masyarakat atas dasar solidaritas mekanis, masyarakatnya bertindak atas dasar perasaan terhadap orang-orang yang melanggar kaidah-kaidah hukum, karena apabila terjadi pelanggaran atas kaidah-kaidah hukum semua warga merasa dirinya terancam secara langsung. Dengan meningkatnya diferensiasi dalam masyarakat, reaksi yang kolektif terhadap pelanggaran-pelanggaran kaidah hukum menjadi berkurang, sehingga hukum yang bersifat represif berubah menjadi hukum yang bersifat restitutif. Dimana tekanan diletakkan pada orang yang menjadi korban atau yang dirugikan,  yaitu sesuatu harus dikembalikan pada keadaan sebelum kaidah-kaidah tersebut dilanggar berlaku pada masyarakat yang berdasarkan solidaritas.
Teori lain yang menghubungkan hukum dengan perubahan-perubahan sosial adalah pendapat Hazairin tentang hukum adat. Dalam hukum adat ada hubungan langsung antara hukum dengan kesusilaan yang meningkat menjadi hubungan antara hukum dengan adat. Adat merupakan renapan (endapan) kesusilaan di dalam masyarakat yaitu kaidah-kaidah adat merupakan kaidah-kaidah kesusilaan yang sebenarnya telah mendapat pengakuan secara umum dalam masyarakat tersebut. Selanjutnya dikatakan, bahwa walaupun terdapat perbedaan sifat atau perbedaan corak antara kaidah-kaidah kesusilaan dengan kaidah-kaidah hukum, namun bentuk-bentuk perbuatan yang menurut hukum dilarang atau disuruh merupakan bentuk-bentuk yang juga dicela atau dianjurkan menurut kesusilaan, sehingga pada hakikatnya di dalam patokan lapangan itu hukum juga berurat pada kesusilaan. Apa yang tak mungkin terpelihara lagi hanya oleh kaidah-kaidah kesusilaan diikhtiarkan penegakannya dengan kaidah-kaidah hukum.
Perubahan-perubahan sosial yang terjadi dalam mayarakat dikarenakan berbagai macam sebab baik yang berasal dari masyarakat itu sendiri maupun dari luar masyarakat tersebut. Sebab-sebab intern dapat terjadi akibat pertambahan atau berkurangnya penduduk, penemuan-penemuan baru, pertentangan (conflict) atau mungkin karena terjadinya suatu revolusi. Sebab-sebab ekstern dapat mencakup hal-hal yang berasal dari faktor alam, pengaruh kebudayaan lain, peperangan dll. Perubahan sosial akan lebih mudah terjadi apabila suatu masyarakat sering mengadakan kontak dengan masyarakat luar dan memiliki sistem pendidikan yang maju dan sistem lapisan sosial yang terbuka, penduduk yang heterogen serta ketidakpuasan masyarakat terhadap bidang kehidupan yang tertentu.
Di dalam proses perubahan hukum pada umumnya dikenal adanya tiga badan yang dapat mengubah hukum, yaitu badan-badan pembentuk hukum, badan-badan penegak hukum dan badan-badan pelaksana hukum. Ketiga fungsi tersebut dijalankan dan merupakan saluran-saluran melalui mana hukum mengalami perubahan-perubahan. Pengaturan perubahan hukum tersebut diatur dalam UUD 1945 dimana dinyatakan bahwa kekuasaan untuk membentuk dan mengubah UUD ada pada MPR (pasal 3 yo pasal 37). Sedangkan kekuasaan untuk membentuk undang-undang serta peraturan lainnya yang derajatnya dibawah undang-undang ada di tangan Pemerintah dan DPR (Bab III dan Bab VII UUD 1945). Kekuasaan kehakiman antara lain mempunyai fungsi untuk membentuk hukum. Didalam Pasal 27 ayat (1) UU No. 14/1970 dinyatakan bahwa hakim sebagai penegak hukum dan keadilan diwajibkan untuk menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup didalam masyarakat. Adanya ketentuan tersebut membuktikan bahwa tugas hakim tidak saja terbatas pada mengadili berdasarkan hukum yang ada, akan tetapi juga mencari dan menemukan hukum untuk kemudian dituangkan didalam keputusan nilai-nilai hukum yang terdapat dalam masyarakat. Oleh karena terdapat pemisahan badan yang berperan dalam perubahan hukum, dapat disimpulkan bahwa perubahan hukum dapat tetap terjadi sekalipun karena faktor-faktor prosedural suatu badan mengalami kemacetan, karena badan-badan lainnya dapat melaksanakan perubahan-perubahan tersebut.
Perubahan-perubahan sosial dan hukum tidak selalu berlangsung bersama-sama. Sehingga pada keadaan-keadaan tertentu perkembangan hukum mungkin tertinggal oleh perkembangan unsur-unsur lainnya dari masyarakat serta kebudayaannya atau mungkin hal yang sebaliknya yang terjadi. Apabila terjadi hal yang demikian, maka terjadilah suatu social lag, yaitu suatu keadaan di mana terjadi ketidakseimbangan dalam perkembangan lembaga-lembaga kemasyarakatan yang mengakibatkan terjadinya kepincangan-kepincangan. Tertinggalnya perkembangan hukum oleh unsur-unsur sosial lainnya, atau sebaliknya terjadi karena pada hakikatnya suatu gejala wajar di dalam suatu masyarakat, bahwa terdapat perbedaan antara pola-pola perikelakuan yang diharapkan oleh kaidah-kaidah hukum dengan pola-pola perikelakuan yang diharapkan oleh kaidah-kaidah sosial lainnya. Hal ini terjadi karena hukum pada hakikatnya disusun atau disahkan oleh bagian kecil dari masyarakat yang pada suatu ketika mempunyai kekuasaaan dan wewenang.
Manusia pada dasarnya selalu ingin menang sendiri, sehingga jika terdapat putusan hakim yang mengalahkannya atas pihak lawan, dapat dipastikan pihak yang kalah akan merasakan putusan hakim tersebut tidak adil. Fungsi hakim untuk menjatuhkan putusan dan berusaha sedemikian rupa sehingga putusannya itu dapat diterima oleh para pihak dan masyarakat umum, sebab bagaimanapun masyarakat akan menilai atas putusan yang dijatuhkan hakim pada seseorang tersebut adil atau tidak. Kegiatan hakim sejak awal interogasi, tahap pembuktian, sampai jatuhnya putusan bukan merupakan kegiatan yang bersifat rasional logis belaka, yang menuntut kecerdasan intelektual semata-mata akan tetapi juga merupakan institusi dan penilaian mengenai apa yang baik dan buruk ikut berbicara. Undang-undang telah mengatur mengenai alat bukti, cara penemuan hukum dengan penafsiran, argumentasi dan sebagainya namun tidaklah selalu jelas dan lengkap dalam pelaksanaannya. Sehingga hakim dalam menjatuhkan putusan memerlukan cara tersendiri, diperlukan instuisi yang merupakan seni, karena dalam hal hukum yang tidak jelas dan lengkap tersebut harus terlebih dahulu  dilengkapi atau diketemukan, sedangkan tidak ada peraturan yang mengatur tentang cara menggunakan atau metode penemuan hukum mana yang terlebih dahulu digunakan. Sehingga hal tersebut diserahkan sepenuhnya kepada hakim. Putusan hakim yang ideal ialah apabila mengandung unsur Idee des Rechts yaitu keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum. Suatu putusan hakim haruslah adil tetapi harus pula bermanfaat bagi yang bersangkutan maupun bagi masyarakat dan terjamin kepastian hukumnya. Namun pada praktiknya hampir tidak mungkin untuk menghadirkan ketiga unsur Idee des Rechts itu secara proporsional. Jika keadilan lebih dipentingkan maka kepastian hukum dikorbankan. Jika kepastian hukumnya didahulukan, keadilannya akan dikorbankan. Dalam hal terjadi konflik antara keadilan dan kepastian hukum, maka hakim berdasarkan Freies Ermessen (kebebasannya) dapat memiliih keadilan dengan mengabaikan kepastian hukum sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan umum atau negara. Hakim pada dasarnya tidak boleh melanggar undang-undang karena ia adalah corong undang-undang, tidak boleh melanggar sistem dan harus berpikir secara system oriented. Namun jika terdapat konflik antara kepastian hukum dan keadilan maka kepentingan pihak harus diutamakan yaitu dengan mengedepankan rasa keadilan. Terdapat suatu ungkapan yang berbunyi summum ius summa injuria (makin lengkap, rinci atau ketat peraturan hukumnya,maka keadliannya makin terdesak atau ditinggalkan), sehingga keadilan harus didahulukan dari kepastian hukum.
Dalam praktek hukum yang terjadi di Indonesia saat ini, nampak jelas bahwa peran hakim baru pada tahap “corong undang-undang” dimana putusan hanya berdasarkan penafsiran pada hukum secara normative tanpa memperhatikan unsur-unsur keadilan. Tidak terpenuhinya unsur keadilan dapat menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat atas hukum, hal ini tentu tidak diharapkan sebab akan memicu gejolak di masyarakat yang dapat menimbulkan chaos. Sebagaimana hal yang baru saja terjadi dimana seorang mahasiswa membakar diri di depan istana Negara akibat keputusasaannya pada pemerintah yang tidak lagi berpihak pada rakyatnya. Korupsi terjadi hampir di setiap lapisan pemerintahan, SDA dikuras habis oleh asing, hukum yang tebang pilih dan tidak terpenuhinya hampir seluruh cita-cita bangsa sebagaimana tertuang dalam UUD 1945. Hati Nurani masyarakat dikoyak oleh adanya kasus-kasus yang semakin menunjukkan bahwa hukum sudah teramputasi dari unsur-unsurnya (Idee des Recht) :

1.      Asas kemanfaatan, seharusnya hukum dapat menjadi alat bahkan panglima untuk dapat mengawal masyarakat menuju kehidupan yang tentram, aman dan adil. Sebagaimana dikemukakan oleh Roscor Pound “law as a tool of social engineering” bahwa hukum bukan merupakan pagar yang dapat membatasi secara normative saja, tetapi hukum dapat dipergunakan sebagai alat untuk membangun masyarakat. Badan pembentuk undang-undang yang berwenang menciptakan hukum seharusnya dapat memanfaatkan perannya untuk dapat mengembangkan perekonomian yang dapat mendorong pertumbuhan social ekonomi masyarakat. Indonesia merupakan Negara yang memiliki sumber daya alam yang sangat besar, seharusnya dapat disusun suatu peraturan yang melindungi kekayaan alam tersebut. Pihak asing boleh masuk untuk mengelola sumber daya tersebut, akan tetapi penguasaannya harus tetap dimiliki Negara demi kepentingan rakyat. Yang terjadi saat ini, sumber daya alam kita dikuras habis oleh pihak asing sedangkan rakyat sekitar yang seharusnya menikmati justru hidup dibawah garis kemiskinan. Contohnya yang terjadi di Papua saat ini, sumber daya alam yang memiliki kekayaan yang luar biasa tersebut habis terkuras, ekosistem hancur dan masyarakat asli justru menderita. Pergolakan terus terjadi, karena hukum tidak dapat memenuhi asas kemanfaatan tersebut.

2.      Asas kepastian hukum, tanpa adanya kepastian hukum, hukum tidak akan memiliki wibawa bagi masyarakat. Hukum akan dianggap sebagai aturan tertulis saja yang tidak diindahkan keberadaannya. Sebagaimana yang terjadi saat ini, bahawa ketidakpastian hukum terlihat dari tebang pilihnya kasus-kasus yang ditangani oleh pengadilan. Banyak kasus-kasus besar yang dilakukan oleh tangan-tangan yang berkuasa kemudian tenggelam tanpa adanya upaya penyelesaian. Bagaimana mungkin masyarakat dapat menghormati hukum untuk kemudian menjadi masyarakat yang sadar dan taat hukum, sementara hukum sendiri tidak dapat memberikan  kepastian bagi masyarakatnya. Masih segar dalam ingatan bagaimana mafia hukum seperti Artalita mendapatkan kebebasan menikmati fasilitas mewah dalam tahanan, juga seorang jaksa yang berkomplot dengan terdakwa benar-benar mencoreng wibawa hukum di mata masyarakat. Jika seorang jaksa saja melakukan perbuatan yang melanggar hukum bagaimana kepastian hukum dapat diperoleh oleh masyarakat umum?.
 
3.      Asas keadilan, tujuan utama dari hukum yang paling penting adalah asas keadilan. Bahkan jika hakim menemukan permasalahan dimana belum ada hukum yang mengatur mengenai perkara yang ditanganinya, maka dengan kewenangan hakim untuk menemukan hukum maka putusan yang harus diambil adalah putusan yang berdasarkan keyakinan hakim akan memberikan keadilan bagi para pihak yang berperkara. Irah-irah putusan pengadilan pun dengan jelas menekankan pada asas keadilan. Tapi saat ini, hukum seakan-akan menjadi buta atas asas yang seharusnya dijunjung tinggi ini. Kasus seorang nenek miskin yang mencuri 3 buah bibit kakao melukai hati Nurani masyarakat. Bagaimana hukum bisa berlaku begitu kaku dan seakan-akan melupakan tujuannya sendiri?.

Tidak termuatnya unsur-unsur hukum dalam  fondasi hukum Negara Indonesia saat ini membuat Negara menjadi kacau. Hukum tidak dapat digunakan sebagai tools of social engineering karena hukum justru digunakan hanya sebagai alat untuk mempermulus jalan orang-orang yang berkuasa dalam menjalankan kehendaknya. Hukum tidak menjadi panglima tetapi menjadi boneka dan kehilangan ruh nya.
Hukum bagaimanapun merupakan produk politik, sekalipun dalam teori hukum sendiri dikenal suatu ajaran mengenai teori hukum murni yang dipopulerkan oleh Hans Kelsen, dimana hukum harusnya terbebas dari unsur-unsur lain diluar hukum pada praktiknya sulit untuk diterapkan. Kesemrawutan praktik hukum bukan merupakan hasil penyelenggaraan yang sepenuhnya buruk, hal tersebut hanya dilakukan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab. Tetapi untuk membangun sistem hukum yang kuat dan sehat harus dibangun dari seluruh aspek tidak dapat berdiri sendiri. Aspek-aspek tersebut antara lain :

a.      Badan Pembentukan Hukum
Dalam pembentukan undang-undang ini, presiden memiliki hak mengajukan Rancangan Undang-Undang (Pasal 5 ayat 1 UUD 1945). Di sisi lain, DPR memegang kekuasaan membentuk undang-undang yang disebut sebagai kekuasaan legislatif. Secara garis besar, proses penyusunan peraturan perundang-undangan meliputi beberapa tahapan, yakni sebagai berikut :
a)      Tahap Penyiapan Rancangan Undang-Undang (RUU)
Rancangan undang-undang dapat dibuat oleh pemerintah dan DPR. Pemerintah atau keseluruhan departemen dapat mengajukan prakarsa pembentukan undang-undang. DPR dapat mengajukan RUU dengan menggunakan hak inisiatif. Tahapan ini sebaiknya melibatkan elemen-elemen mayarakat agar perubahan-perubahan sosial dalam masyarakat dapat terakomodir dengan baik dan UU sendiri ketika sudah diundangkan akan mendatangkan manfaat yang nayata bagi masyarakat.
b)      Tahap Pembahasan
Tahap pembahasan bagi rancangan undang-undang di DPR RI ditetapkan melalui empat tingkat pembicaraan sebagai berikut.
1)      Pembicaraan Tingkat I (Rapat Paripurna) Pembicaraan pada Tingkat I adalah pemberian keterangan atau penjelasan pemerintah mengenai RUU yang berasal dari pemerintah dan pemberian penjelasan dari pimpinan komisi atau pimpinan panitia khusus atas nama DPR jika RUU yang dibahas adalah RUU yang berasal dari DPR (hak inisiatif).
2)      Pembicaraan Tingkat II (Rapat Paripurna) Pembicaraan Tingkat II terdiri atas dua macam bergantung pemberi usulan. Jika RUU berasal dari pemerintah, dilakukan pemandangan umum para anggota DPR yang mewakili fraksi masing-masing. Selain itu, jawaban pemerintah terhadap pemandangan umum fraksi-fraksi. Jika RUU berasal dari usul inisiatif DPR, dilakukan tanggapan pemerintah terhadap RUU usul inisiatif dan jawaban pimpinan panitia khusus atas nama DPR terhadap tanggapan pemerintah tersebut.
3)      Pembicaraan Tingkat III (Rapat Komisi) Semua RUU dibahas secara mendalam dalam rapat komisi, rapat gabungan komisi, atau panitia khusus. Dalam rapat ini, diundang pihak-pihak yang mewakili pemerintah. Jika dianggap perlu, DPR dapat melakukan dengar pendapat (hearing) dengan masya rakat, organisasi massa, atau lembaga swadaya masyarakat.
4)      Pembicaraan Tingkat IV (Rapat Paripurna) Pembicaraan Tingkat IV merupakan pembicaraan terakhir, dengan tahapan pembicaraannya sebagai berikut.
(a)   Pelaporan hasil rapat tingkat III.
(b)   Penyampaian pendapat akhir fraksi dan jika perlu disampaikan juga catatan-catatan dari fraksi.
(c)    Sambutan pejabat yang ditunjuk pemerintah sebagai komentar terhadap putusan yang ditetapkan DPR.
c)      Tahap Pengesahan dan Pengundangan
Hasil dari RUU yang telah disetujui DPR akan diberikan kepada presiden melalui sekretaris negara untuk ditandatangani dan disahkan. Kemudian, undang-undang tersebut akan diundangkan oleh menteri negara atau sekretaris kabinet. Pengundangan mem punyai maksud agar seluruh warga negara mengetahui bahwa ada undang-undang yang baru dan mengikat semua warga negara
Pembentukan hukum harus dapat menangkap gejala-gejala sosial yang ada di masyarakat agar dapat diketahui, bagian mana yang harus di update sesuai realita (selama kaidah dan asas yang dianut sesuai) dan bagian mana yang sudah tidak perlu dicantumkan lagi dalam peraturan oleh karena sudah tidak memiliki nilai manfaat. Misalnya saja mengenai peraturan-peraturan terkait investasi asing di Indonesia, saat ini Indonesia membuka kesempatan untuk masuknya pihak-pihak asing ke Indonesia. Peraturan-peraturan dibuat namun fakta yang ada saat ini, pembangunan di Indonesia belum lah seperti yang diharapkan, bahkan kemiskinan dan kebodohan juga tidak kunjung membaik hingga saat ini. Dibuka pintu bagi asing untuk masuk ke Indonesia sebenarnya baik, karena akan memicu daya saing sehat bagi industri dan pebisnis lokal. Namun pemerintah nampaknya kurang memperhatikan realita saat ini dimana pengetahuan para pelaku bisnis Indonesia saat ini belum seluruhnya siap untuk dapat bersaing dengan asing. Kegiatan bisnis rakyat seringkali terkendala oleh kemampuan dan modal yang justru tidak ada proteksi dari pemerintah. 

b.      Aparatur penegak hukum
Kejujuran dan integritas aparatur penegak hukum akan sangat menentukan sistem hukum itu sendiri kedepannya. Adanya suatu produk hukum yang bagus tidak akan berpengaruh besar jika tidak diiringi dengan kualitas aparatur penegak hukum yang baik, sebagaimana adagium “Hukum tanpa kekuasaan adalah angan-angan”.

c.       Masyarakat yang taat dan sadar hukum
Bagaimanapun suatu produk hukum sudah dibuat jika masyarakat sendiri tidak memiliki kesadaran maka akan sulit negara hukum yang dicitakan terwujud. Jiwa masyarakat yang tidak ingin taat dan sadar hukum akan menimbulkan perasaan-perasaan permisif baginya dan masyarakat lain mengenai hal-hal yang sebenarnya dilarang. Perasaan permisif itu jika berlarut-larut akan membuat sesuatu yang sebenarnya salah justru menjadi wajar, hal ini pada akhirnya akan menganggu keseimbangan sistem hukum.

Ketiga aspek tersebut harus bersinergi pelaksanaannya sebab ketidaktaatan suatu aspek akan menghambat dan mempengaruhi output dari terciptanya sistem hukum yang dicita-citakan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar