Istilah sociologie
du coup d’oeil atau sosiologi selayang pandang muncul akibat ilmu sosiologi tidak dapat mempelajari apa yang seharusnya menjadi
objek kajiannya, yaitu masyarakat.
Terlalu banyak teori yang tidak saling berkesinambungan
dan membentuk kesatuan yang membuat ilmu sosiologi tidak terintegrasi layaknya
ilmu sains. Padahal keberadaaan ilmu sosiologi
dalam pembentukan sistem dalam masyarakat sangatlah penting.
Pentingnya peranan ilmu sosiologi terutama
untuk menjawab permasahalan-permasalahan hukum merupakan fenomena yang sangat
jelas terlihat. Karena pada kenyataan saat ini, hukum normatif tidak dapat lagi
memenuhi rasa keadilan masyarakat yang merupakan tujuan dari hukum itu sendiri.
Diperlukan suplemen agar hukum yang berjalan dapat benar-benar menjadi panglima
dalam kehidupan bermasyarakat. Oleh sebab itu diperlukan pendekatan yang lebih
komprehensif yang mengkaji lebih dalam keterkaitan ilmu hukum dan ilmu
sosiologi. Ilmu sosiologi merupakan induk dari segala ilmu kemasyarakatan,
sementara ilmu hukum juga berbicara tentang nilai-nilai luhur yang harus
dimiliki masyarakat. Namun secara logis memang tidak mudah menyatukan kedua ilmu tersebut untuk
membentuk suatu kajian komprehensif, karena terdapat perbedaan logika internal. Ilmu hukum memiliih pendekatan normatif yang
menetapkan prinsip mengenai kepastian hukum dan ilmu sosiologi memilih
pendekatan empiris. Konsekuensi hal tersebut yaitu ilmu sosiologi hukum yang diciptakan sebagai penengah
atau penghubung logika logis dari ilmu hukum dan ilmu
sosiologi diharapkan dapat membantu ilmu hukum untuk memecahkan berbagai
masalah kemasyarakatan terutama untuk memenuhi rasa keadilan dalam praktek
kehidupan bermasyarakat.
Ilmu sosiologi sebagai
ilmu berparadigma plural memiliki minimal tiga paradigma dasar yaitu :
1.
Paradigma
fakta sosial
Kenyataan sosial memiliki realita tersendiri,
terlepas dari faktor individu yang hidup dalam masayarakat bersangkutan. Muncul
dalam wujud berupa :
a.
Struktur
sosial
b.
Institusi
sosial
Sektor hukum memiliki peran seperti pisau
bermata dua. Dimana satu sisi hukum diciptakan untuk melanggengkan dan
menjustifikasi keberadaan lembaga-lembaga hukum dan struktur sosial
kemasayarakatan yang ada dengan tujuan untuk mempertahankan hegemoni dan
kekuasaan dari pihak yang kuat atau pihak penguasa (hukum tanpa kekuasaan
adalah angan-angan). Di sisi lain dalam nuansa kaidah hukum dan penegakan hukum yang lebih egaliter dan
dinamis, sektor hukum dapat memainkan peran penting untuk justru menjaga
keadilan dan kesetaraan dalam kehidupan masyarakat, menjaga lingkungan dari
kerusakan yang ditimbulkan pihak-pihak kuat yang membisniskan lingkungan hidup,
melindungi hak asasi manusia, mempertahankan due process of law (kekuasaan tanpa hukum adalah kedzaliman).
2.
Paradigma
definisi sosial
Paradigma ini mengajarkan bahwa unsur
subjektif dari suatu tindakan sosial bukan merupakan kenyataan sosial yang
lepas dari pengaruh individu karena setiap tindakan sosial selalu terkait
dengan individu. Sektor hukum seringkali mengabaikan adanya paradigma definisi
sosial yang menyebabkan terabaikannya rasa keadilan dalam masyarakat yang
sebenarnya merupakan tujuan hukum yang utama. Ketika suatu Undang-Undang dibuat
oleh aparat pemerintahan seringkali tidak memperhatikan adanya keanekaragaman
persepsi yang timbul dalam masyarakat, sehingga
seringkali suatu peraturan sulit dipahami/dimengerti oleh masyarakat. Sementara
hukum secara kaku dan mutlak berpegang kepada adagium kuno yaitu teori fiksi
yang menganggap semua masyarakat tanpa kecuali dianggap mengetahui
undang-undang. Padahal dalam kenyataan keterbatasan pengetahuan masyarakat juga
disebabkan sistem pemerintahan sendiri yang tanpa adanya diskursus-diskursus
sosial yang membuat masayarakat sadar hukum.
3.
Paradigma
perilaku sosial
Menekankan studinya kepada korelasi dan inter
relasi antara individu dan lingkungan kemasyarakatan, mengajarkan bahwa tingkah
laku individu merupakan elemen terpenting dalam ilmu sosiologi. Dengan
melakukan pendekatan secara objektif dan empiris terhadap kenyataan dan
perilaku sosial yang ada, menyimpulkan bahwa suatu kenyataan sosial sebenarnya
tidak lain dari sekumpulan perilaku-perilaku individu yang nyata dalam
masyarakat tersebut. Penerapan teori paradigma akan memberikan horizon yang
luas dalam menelaah aspek hukum. Horizon yang luas inilah yang mesti
dipertimbangkan bagian demi bagian, misalnya ketika suatu hukum harus dibuat,
diperbaiki, diterapkan atau ditegakkan.
Teori dari Emile Durkheim mengenai hubungan
antara hukum dengan perubahan sosial menyatakan bahwa hukum merupakan refleksi
dari solidaritas sosial dalam masyarakat. Di dalam masyarakat terdapat dua
macam solidaritas yaitu yang bersifat mekanis dan yang bersifat organis.
Solidaritas yang mekanis terdapat pada masyarakat yang sederhana dan homogen.
Solidaritas yang organis terdapat pada masyarakat yang heterogen, dimana
terdapat pembagian kerja yang kompleks. Ikatan mayarakat lebih banyak
tergantung pada hubungan fungsional antara unsur-unsur yang dihasilkan oleh
pembagian kerja.
Pada masyarakat yang didasarkan solidaritas
mekanis sistem hukumnya adalah hukum pidana yang bersifat represif. Suatu
perbuatan merupakan tindak pidana apabila perbuatan tadi menghina
keyakinan-keyakinan yang sudah tertanam dengan kuatnya di dalam masyarakat. Di
dalam masyarakat atas dasar solidaritas mekanis, masyarakatnya bertindak atas
dasar perasaan terhadap orang-orang yang melanggar kaidah-kaidah hukum, karena
apabila terjadi pelanggaran atas kaidah-kaidah hukum semua warga merasa dirinya
terancam secara langsung. Dengan meningkatnya diferensiasi dalam masyarakat, reaksi
yang kolektif terhadap pelanggaran-pelanggaran kaidah hukum menjadi berkurang,
sehingga hukum yang bersifat represif berubah menjadi hukum yang bersifat
restitutif. Dimana tekanan diletakkan pada orang
yang menjadi korban atau yang dirugikan,
yaitu sesuatu harus dikembalikan pada keadaan sebelum kaidah-kaidah
tersebut dilanggar
berlaku pada masyarakat yang
berdasarkan solidaritas.
Teori lain yang menghubungkan hukum dengan
perubahan-perubahan sosial adalah pendapat Hazairin tentang hukum adat. Dalam
hukum adat ada hubungan langsung antara hukum dengan kesusilaan yang meningkat
menjadi hubungan antara hukum dengan adat. Adat merupakan renapan (endapan)
kesusilaan di dalam masyarakat yaitu kaidah-kaidah adat merupakan kaidah-kaidah
kesusilaan yang sebenarnya telah mendapat pengakuan secara umum dalam
masyarakat tersebut. Selanjutnya dikatakan, bahwa walaupun terdapat perbedaan
sifat atau perbedaan corak antara kaidah-kaidah kesusilaan dengan kaidah-kaidah
hukum, namun bentuk-bentuk perbuatan yang menurut hukum dilarang atau disuruh
merupakan bentuk-bentuk yang juga dicela atau dianjurkan menurut kesusilaan,
sehingga pada hakikatnya di dalam patokan lapangan itu hukum juga berurat pada
kesusilaan. Apa yang tak mungkin terpelihara lagi hanya oleh kaidah-kaidah
kesusilaan diikhtiarkan penegakannya dengan kaidah-kaidah hukum.
Perubahan-perubahan sosial yang terjadi dalam
mayarakat dikarenakan berbagai macam sebab baik yang berasal dari masyarakat
itu sendiri maupun dari luar masyarakat tersebut. Sebab-sebab intern dapat
terjadi akibat pertambahan atau berkurangnya penduduk, penemuan-penemuan baru,
pertentangan (conflict) atau mungkin
karena terjadinya suatu revolusi. Sebab-sebab ekstern dapat mencakup hal-hal
yang berasal dari faktor alam, pengaruh kebudayaan lain, peperangan dll.
Perubahan sosial akan lebih mudah terjadi apabila suatu masyarakat sering
mengadakan kontak dengan masyarakat luar dan memiliki sistem pendidikan yang
maju dan sistem lapisan sosial yang terbuka, penduduk yang heterogen serta
ketidakpuasan masyarakat terhadap bidang kehidupan yang tertentu.
Di dalam proses perubahan hukum pada umumnya
dikenal adanya tiga badan yang dapat mengubah hukum, yaitu badan-badan
pembentuk hukum, badan-badan penegak hukum dan badan-badan pelaksana hukum.
Ketiga fungsi tersebut dijalankan dan merupakan saluran-saluran melalui mana
hukum mengalami perubahan-perubahan. Pengaturan perubahan hukum tersebut diatur
dalam UUD 1945 dimana dinyatakan bahwa kekuasaan untuk membentuk dan mengubah
UUD ada pada MPR (pasal 3 yo pasal 37). Sedangkan kekuasaan untuk membentuk
undang-undang serta peraturan lainnya yang derajatnya dibawah undang-undang ada
di tangan Pemerintah dan DPR (Bab III dan Bab VII UUD 1945). Kekuasaan
kehakiman antara lain mempunyai fungsi untuk membentuk hukum. Didalam Pasal 27
ayat (1) UU No. 14/1970 dinyatakan bahwa hakim sebagai penegak hukum dan
keadilan diwajibkan untuk menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum
yang hidup didalam masyarakat. Adanya ketentuan tersebut membuktikan bahwa
tugas hakim tidak saja terbatas pada mengadili berdasarkan hukum yang ada, akan
tetapi juga mencari dan menemukan hukum untuk kemudian dituangkan didalam
keputusan nilai-nilai hukum yang terdapat dalam masyarakat. Oleh karena
terdapat pemisahan badan yang berperan dalam perubahan hukum, dapat disimpulkan
bahwa perubahan hukum dapat tetap terjadi sekalipun karena faktor-faktor
prosedural suatu badan mengalami kemacetan, karena badan-badan lainnya dapat
melaksanakan perubahan-perubahan tersebut.
Perubahan-perubahan sosial dan hukum tidak
selalu berlangsung bersama-sama. Sehingga pada keadaan-keadaan tertentu
perkembangan hukum mungkin tertinggal oleh perkembangan unsur-unsur lainnya
dari masyarakat serta kebudayaannya atau mungkin hal yang sebaliknya yang
terjadi. Apabila terjadi hal yang demikian, maka terjadilah suatu social lag, yaitu suatu keadaan di mana
terjadi ketidakseimbangan dalam perkembangan lembaga-lembaga kemasyarakatan
yang mengakibatkan terjadinya kepincangan-kepincangan. Tertinggalnya
perkembangan hukum oleh unsur-unsur sosial lainnya, atau sebaliknya terjadi
karena pada hakikatnya suatu gejala wajar di dalam suatu masyarakat, bahwa
terdapat perbedaan antara pola-pola perikelakuan yang diharapkan oleh
kaidah-kaidah hukum dengan pola-pola perikelakuan yang diharapkan oleh
kaidah-kaidah sosial lainnya. Hal ini terjadi karena hukum pada hakikatnya
disusun atau disahkan oleh bagian kecil dari masyarakat yang pada suatu ketika
mempunyai kekuasaaan dan wewenang.
Manusia pada dasarnya selalu ingin menang
sendiri, sehingga jika terdapat putusan hakim yang mengalahkannya atas pihak
lawan, dapat dipastikan pihak yang kalah akan merasakan putusan hakim tersebut
tidak adil. Fungsi hakim untuk menjatuhkan putusan dan berusaha sedemikian rupa
sehingga putusannya itu dapat diterima oleh para pihak dan masyarakat umum,
sebab bagaimanapun masyarakat akan menilai atas putusan yang dijatuhkan hakim
pada seseorang tersebut adil atau tidak. Kegiatan hakim sejak awal interogasi,
tahap pembuktian, sampai jatuhnya putusan bukan merupakan kegiatan yang
bersifat rasional logis belaka, yang menuntut kecerdasan intelektual
semata-mata akan tetapi juga merupakan institusi dan penilaian mengenai apa
yang baik dan buruk ikut berbicara. Undang-undang telah mengatur mengenai alat
bukti, cara penemuan hukum dengan penafsiran, argumentasi dan sebagainya namun
tidaklah selalu jelas dan lengkap dalam pelaksanaannya. Sehingga hakim dalam
menjatuhkan putusan memerlukan cara tersendiri, diperlukan instuisi yang
merupakan seni, karena dalam hal hukum yang tidak jelas dan lengkap tersebut
harus terlebih dahulu dilengkapi atau
diketemukan, sedangkan tidak ada peraturan yang mengatur tentang cara
menggunakan atau metode penemuan hukum mana yang terlebih dahulu digunakan.
Sehingga hal tersebut diserahkan sepenuhnya kepada hakim. Putusan hakim yang
ideal ialah apabila mengandung unsur Idee
des Rechts yaitu keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum. Suatu putusan
hakim haruslah adil tetapi harus pula bermanfaat bagi yang bersangkutan maupun
bagi masyarakat dan terjamin kepastian hukumnya. Namun pada praktiknya hampir
tidak mungkin untuk menghadirkan ketiga unsur Idee des Rechts itu secara proporsional. Jika keadilan lebih
dipentingkan maka kepastian hukum dikorbankan.
Jika kepastian hukumnya didahulukan, keadilannya akan dikorbankan. Dalam hal
terjadi konflik antara keadilan dan kepastian hukum, maka hakim berdasarkan Freies Ermessen (kebebasannya) dapat
memiliih keadilan dengan mengabaikan kepastian hukum sepanjang tidak
bertentangan dengan kepentingan umum atau negara. Hakim pada dasarnya tidak
boleh melanggar undang-undang karena ia adalah corong undang-undang, tidak
boleh melanggar sistem dan harus berpikir secara system oriented. Namun jika terdapat konflik antara kepastian hukum
dan keadilan maka kepentingan pihak harus diutamakan yaitu dengan mengedepankan
rasa keadilan. Terdapat suatu ungkapan yang berbunyi “summum ius summa injuria” (makin lengkap,
rinci atau ketat peraturan hukumnya,maka keadliannya makin terdesak atau
ditinggalkan), sehingga keadilan harus didahulukan dari
kepastian hukum.
Dalam praktek hukum yang
terjadi di Indonesia saat ini, nampak jelas bahwa peran hakim baru pada tahap
“corong undang-undang” dimana putusan hanya berdasarkan penafsiran pada hukum
secara normative tanpa memperhatikan unsur-unsur keadilan. Tidak terpenuhinya unsur
keadilan dapat menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat atas hukum, hal ini
tentu tidak diharapkan sebab akan memicu gejolak di masyarakat yang dapat
menimbulkan chaos. Sebagaimana hal
yang baru saja terjadi dimana seorang mahasiswa membakar diri di depan istana Negara
akibat keputusasaannya pada pemerintah yang tidak lagi berpihak pada rakyatnya.
Korupsi terjadi hampir di setiap lapisan pemerintahan, SDA dikuras habis oleh
asing, hukum yang tebang pilih dan tidak terpenuhinya hampir seluruh cita-cita
bangsa sebagaimana tertuang dalam UUD 1945. Hati Nurani masyarakat dikoyak oleh
adanya kasus-kasus yang semakin menunjukkan bahwa hukum sudah teramputasi dari
unsur-unsurnya (Idee des Recht) :
1.
Asas kemanfaatan, seharusnya hukum dapat menjadi alat bahkan panglima
untuk dapat mengawal masyarakat menuju kehidupan yang tentram, aman dan adil.
Sebagaimana dikemukakan oleh Roscor Pound “law
as a tool of social engineering” bahwa hukum bukan merupakan pagar yang
dapat membatasi secara normative saja, tetapi hukum dapat dipergunakan sebagai
alat untuk membangun masyarakat. Badan pembentuk undang-undang yang berwenang
menciptakan hukum seharusnya dapat memanfaatkan perannya untuk dapat
mengembangkan perekonomian yang dapat mendorong pertumbuhan social ekonomi
masyarakat. Indonesia merupakan Negara yang memiliki sumber daya alam yang
sangat besar, seharusnya dapat disusun suatu peraturan yang melindungi kekayaan
alam tersebut. Pihak asing boleh masuk untuk mengelola sumber daya tersebut,
akan tetapi penguasaannya harus tetap dimiliki Negara demi kepentingan rakyat.
Yang terjadi saat ini, sumber daya alam kita dikuras habis oleh pihak asing
sedangkan rakyat sekitar yang seharusnya menikmati justru hidup dibawah garis
kemiskinan. Contohnya yang terjadi di Papua saat ini, sumber daya alam yang
memiliki kekayaan yang luar biasa tersebut habis terkuras, ekosistem hancur dan
masyarakat asli justru menderita. Pergolakan terus terjadi, karena hukum tidak
dapat memenuhi asas kemanfaatan tersebut.
2.
Asas kepastian hukum, tanpa adanya kepastian hukum, hukum tidak akan
memiliki wibawa bagi masyarakat. Hukum akan dianggap sebagai aturan tertulis
saja yang tidak diindahkan keberadaannya. Sebagaimana yang terjadi saat ini,
bahawa ketidakpastian hukum terlihat dari tebang pilihnya kasus-kasus yang
ditangani oleh pengadilan. Banyak kasus-kasus besar yang dilakukan oleh
tangan-tangan yang berkuasa kemudian tenggelam tanpa adanya upaya penyelesaian.
Bagaimana mungkin masyarakat dapat menghormati hukum untuk kemudian menjadi
masyarakat yang sadar dan taat hukum, sementara hukum sendiri tidak dapat
memberikan kepastian bagi masyarakatnya.
Masih segar dalam ingatan bagaimana mafia hukum seperti Artalita mendapatkan
kebebasan menikmati fasilitas mewah dalam tahanan, juga seorang jaksa yang berkomplot
dengan terdakwa benar-benar mencoreng wibawa hukum di mata masyarakat. Jika
seorang jaksa saja melakukan perbuatan yang melanggar hukum bagaimana kepastian
hukum dapat diperoleh oleh masyarakat umum?.
3.
Asas keadilan, tujuan utama dari hukum yang paling penting adalah asas
keadilan. Bahkan jika hakim menemukan permasalahan dimana belum ada hukum yang
mengatur mengenai perkara yang ditanganinya, maka dengan kewenangan hakim untuk
menemukan hukum maka putusan yang harus diambil adalah putusan yang berdasarkan
keyakinan hakim akan memberikan keadilan bagi para pihak yang berperkara.
Irah-irah putusan pengadilan pun dengan jelas menekankan pada asas keadilan.
Tapi saat ini, hukum seakan-akan menjadi buta atas asas yang seharusnya
dijunjung tinggi ini. Kasus seorang nenek miskin yang mencuri 3 buah bibit
kakao melukai hati Nurani masyarakat. Bagaimana hukum bisa berlaku begitu kaku
dan seakan-akan melupakan tujuannya sendiri?.
Tidak termuatnya unsur-unsur
hukum dalam fondasi hukum Negara
Indonesia saat ini membuat Negara menjadi kacau. Hukum tidak dapat digunakan
sebagai tools of social engineering
karena hukum justru digunakan hanya sebagai alat untuk mempermulus jalan
orang-orang yang berkuasa dalam menjalankan kehendaknya. Hukum tidak menjadi
panglima tetapi menjadi boneka dan kehilangan ruh nya.
Hukum bagaimanapun merupakan
produk politik, sekalipun dalam teori hukum sendiri dikenal suatu ajaran
mengenai teori hukum murni yang dipopulerkan oleh Hans Kelsen, dimana hukum
harusnya terbebas dari unsur-unsur lain diluar hukum pada praktiknya sulit
untuk diterapkan. Kesemrawutan praktik hukum bukan merupakan hasil
penyelenggaraan yang sepenuhnya buruk, hal tersebut hanya dilakukan oleh oknum-oknum
yang tidak bertanggung jawab. Tetapi untuk membangun sistem hukum yang kuat dan
sehat harus dibangun dari seluruh aspek tidak dapat berdiri sendiri.
Aspek-aspek tersebut antara lain :
a.
Badan Pembentukan Hukum
Dalam pembentukan undang-undang ini, presiden
memiliki hak mengajukan Rancangan Undang-Undang (Pasal 5 ayat 1 UUD 1945). Di
sisi lain, DPR memegang kekuasaan membentuk undang-undang yang disebut sebagai
kekuasaan legislatif. Secara garis besar, proses penyusunan peraturan
perundang-undangan meliputi beberapa tahapan, yakni sebagai berikut :
a)
Tahap Penyiapan Rancangan Undang-Undang (RUU)
Rancangan undang-undang dapat dibuat oleh
pemerintah dan DPR. Pemerintah atau keseluruhan departemen dapat mengajukan
prakarsa pembentukan undang-undang. DPR dapat mengajukan RUU dengan menggunakan
hak inisiatif. Tahapan ini sebaiknya melibatkan elemen-elemen mayarakat agar
perubahan-perubahan sosial dalam masyarakat dapat terakomodir dengan baik dan
UU sendiri ketika sudah diundangkan akan mendatangkan manfaat yang nayata bagi
masyarakat.
b)
Tahap Pembahasan
Tahap pembahasan bagi rancangan undang-undang
di DPR RI ditetapkan melalui empat tingkat pembicaraan sebagai berikut.
1)
Pembicaraan
Tingkat I (Rapat Paripurna) Pembicaraan pada Tingkat I adalah pemberian keterangan
atau penjelasan pemerintah mengenai RUU yang berasal dari pemerintah dan
pemberian penjelasan dari pimpinan komisi atau pimpinan panitia khusus atas
nama DPR jika RUU yang dibahas adalah RUU yang berasal dari DPR (hak
inisiatif).
2)
Pembicaraan
Tingkat II (Rapat Paripurna) Pembicaraan Tingkat II terdiri atas dua macam
bergantung pemberi usulan. Jika RUU berasal dari pemerintah, dilakukan
pemandangan umum para anggota DPR yang mewakili fraksi masing-masing. Selain
itu, jawaban pemerintah terhadap pemandangan umum fraksi-fraksi. Jika RUU
berasal dari usul inisiatif DPR, dilakukan tanggapan pemerintah terhadap RUU
usul inisiatif dan jawaban pimpinan panitia khusus atas nama DPR terhadap
tanggapan pemerintah tersebut.
3)
Pembicaraan
Tingkat III (Rapat Komisi) Semua RUU dibahas secara mendalam dalam rapat
komisi, rapat gabungan komisi, atau panitia khusus. Dalam rapat ini, diundang
pihak-pihak yang mewakili pemerintah. Jika dianggap perlu, DPR dapat melakukan
dengar pendapat (hearing) dengan masya rakat, organisasi massa, atau
lembaga swadaya masyarakat.
4)
Pembicaraan
Tingkat IV (Rapat Paripurna) Pembicaraan Tingkat IV merupakan pembicaraan
terakhir, dengan tahapan pembicaraannya sebagai berikut.
(a)
Pelaporan
hasil rapat tingkat III.
(b)
Penyampaian
pendapat akhir fraksi dan jika perlu disampaikan juga catatan-catatan dari
fraksi.
(c)
Sambutan
pejabat yang ditunjuk pemerintah sebagai komentar terhadap putusan yang
ditetapkan DPR.
c)
Tahap Pengesahan dan Pengundangan
Hasil dari RUU yang telah disetujui DPR akan
diberikan kepada presiden melalui sekretaris negara untuk ditandatangani dan
disahkan. Kemudian, undang-undang tersebut akan diundangkan oleh menteri negara
atau sekretaris kabinet. Pengundangan mem punyai maksud agar seluruh warga
negara mengetahui bahwa ada undang-undang yang baru dan mengikat semua warga
negara
Pembentukan hukum harus dapat menangkap
gejala-gejala sosial yang ada di masyarakat agar dapat diketahui, bagian mana
yang harus di update sesuai realita
(selama kaidah dan asas yang dianut sesuai) dan bagian mana yang sudah tidak
perlu dicantumkan lagi dalam peraturan oleh karena sudah tidak memiliki nilai
manfaat. Misalnya saja mengenai peraturan-peraturan terkait investasi asing di
Indonesia, saat ini Indonesia membuka kesempatan untuk masuknya pihak-pihak
asing ke Indonesia. Peraturan-peraturan dibuat namun fakta yang ada saat ini,
pembangunan di Indonesia belum lah seperti yang diharapkan, bahkan kemiskinan
dan kebodohan juga tidak kunjung membaik hingga saat ini. Dibuka pintu bagi
asing untuk masuk ke Indonesia sebenarnya baik, karena akan memicu daya saing
sehat bagi industri dan pebisnis lokal. Namun pemerintah nampaknya kurang
memperhatikan realita saat ini dimana pengetahuan para pelaku bisnis Indonesia
saat ini belum seluruhnya siap untuk dapat bersaing dengan asing. Kegiatan
bisnis rakyat seringkali terkendala oleh kemampuan dan modal yang justru tidak
ada proteksi dari pemerintah.
b. Aparatur penegak hukum
Kejujuran dan integritas aparatur
penegak hukum akan sangat menentukan sistem hukum itu sendiri kedepannya.
Adanya suatu produk hukum yang bagus tidak akan berpengaruh besar jika tidak
diiringi dengan kualitas aparatur penegak hukum yang baik, sebagaimana adagium
“Hukum tanpa kekuasaan adalah angan-angan”.
c.
Masyarakat yang taat dan sadar hukum
Bagaimanapun suatu produk hukum sudah dibuat
jika masyarakat sendiri tidak memiliki kesadaran maka akan sulit negara hukum
yang dicitakan terwujud. Jiwa masyarakat yang tidak ingin taat dan sadar hukum
akan menimbulkan perasaan-perasaan permisif baginya dan masyarakat lain
mengenai hal-hal yang sebenarnya dilarang. Perasaan permisif itu jika
berlarut-larut akan membuat sesuatu yang sebenarnya salah justru menjadi wajar,
hal ini pada akhirnya akan menganggu keseimbangan sistem hukum.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar