A. PENDAHULUAN
Hukum
dianggap sebagai sistem yang abstrak yang hadir dalam bentuk
keharusan-keharusan (das Sollen), sehingga
masyarakat sebagai partisipan hendaknya/diwajibkan untuk dapat mengikuti
aturan-aturan tersebut agar tujuan bermasyarakat dapat tercapai. Namun terdapat
pula pandangan yang menyatakan bahwa hukum hanyalah suatu alat/sarana yang
dipergunakan masyarakat untuk mencapai keadilan, sehingga tujuan akhir dari
dilaksanakannya hukum adalah keadilan. Banyak sekali teori yang berusaha mengkaji
apa yang dimaksud dengan hukum, akan tetapi sulit untuk dapat merumuskan
“hukum” yang diterima oleh seluruh kalangan, sebab semua kajian adalah benar
jika ditinjau dari masing-masing perspektif dan tidaklah mungkin dapat membuat
suatu kesimpulan sempurna yang dapat mewakili seluruh perspektif. Untuk dapat
memisahkan mengenai apa itu “hukum” secara teori dan praktik, juga untuk dapat
membuat “hukum” dapat terimplementasi dalam kehidupan bermasyarakat, haruslah
dilihat dari perspektif yang berbeda agar tidak terjadi kerancuan. Teori hukum menurut
Bruggink adalah “seluruh pernyataan yang saling berkaitan berkenaan dengan sistem
konseptual aturan-aturan hukum dan putusan-putusan hukum dan sistem tersebut
untuk sebagian yang penting dipositifkan”.
Tugas teori hukum adalah membuat jelas nilai-nilai oleh
postulat-postulat hukum sampai kepada
landasan filosofisnya tertinggi (Radburch). Oleh karenanya hukum harus
dilepaskan dari unsur-unsur politik, psikis dan sosial budaya (das reine recht). Sebagaimana
disampaikan oleh Hans Kelsen melalui “Teori murni tentang hukum”, dimana hukum
murni berbicara bahwa ilmu hukum itu berdiri sendiri, terlepas dari pengaruh
apapun. Untuk memahami hukum dalam konsep hukum murni harus melalui fenomologi yaitu ilmu tanpa prasangka
(ilmu murni), sehingga manusia dapat memahami hukum melalui pemikiran yang
tidak terbatas atas pengaruh unsur-unsur lain (fenomologi transedental).
Hukum mulai muncul pada saat seorang manusia
tidak lagi hidup sendiri, yaitu pada fase “kelompok”. Terkait dengan teori
hukum murni Hans Kelsen dimana hukum dibebaskan dari unsur ideologis maka
“keadilan” tidaklah masuk dalam pola pikir rasional dan tidak dapat dijawab
secara ilmiah sehingga “keadilan” bukan bagian dari hukum murni. Maka yang
disebut dengan hukum yang murni adalah hukum dalam arti formal, yaitu sebagai
peraturan yang berlaku secara yuridis. Oleh karenanya, kewajiban hukum yang
muncul adalah suatu kewajiban yuridis dan ditaati karena ada paksaan/ancaman
dari pihak luar jika individu tidak mentaatinya. Dasarnya bahwa asal mula
seluruh hukum adalah undang-undang dasar Negara. Dalam relasi Negara ada
penguasa dan ada rakyat , ada yang memberi perintah dan ada yang harus menaati
perintah. Kewajiban yuridis dianggap sebagai suatu dorongan batin yang tidak
dapat dielakkan. Kewajiban mematuhi hukum menurut Hans Kelsen merupakan suatu
peraturan a-normatif tidak masuk akal, dan tidak merupakan hukum. Kelsen juga
menyatakan bahwa kewajiban hukum termasuk dalam pengertian transedental-logis,
yaitu “mewajibkan” harus diterima sebagai syarat yang tidak dapat dielakkan
untuk mengerti hukum sebagai hukum. Dalam hukum juga terdapat suatu norma dasar
yang harus dianggap sebagai keharusan di bidang hukum. Norma dasar (grundnorm) tersebut berbunyi :
“Orang-orang harus menyesuaikan dirinya dengan apa yang telah ditentukan”.
Dalam konsep hukum dalam praktik, Kelsen menjabarkan teori stufenbau, yang menurutnya merupakan syarat satu-satunya bagi suatu
peraturan untuk dapat disebut sebagai hukum yang mewajibkan adalah bahwa
terdapat suatu minimum efektivitas (yaitu orang harus menaatinya). Dapat
disimpulkan teori hukum murni Hans Kelsen adalah sebuah teori hukum positif.
Teori Kelsen
telah membatasinya dirinya pada hukum sebagaimana adanya tanpa memperhatikan
keadilan atau ketidakadilan.
B. Permasalahan
Berdasarkan
penjelasan mengenai hukum melalui pendekatan teori hukum murni, dapat dikatakan
bahwa hukum memiliki legalitas unsur paksa. Dengan dilepaskannya unsur-unsur
lain, maka hukum diharapkan dapat menjawab kebutuhan masyarakat.
1. Bagaimana kaitan teori hukum murni dalam
menjawab permasalahan-permasalahan yang terjadi di masyarakat?.
2. Bagaimana teori hukum menyelesaikan kekosongan
hukum?.
C. Pembahasan
1. Ilmu hukum adalah “ilmu normative” , dimana
hukum semata-mata hanya berada dalam kondisi das sollen. Ciri hakiki dari norma adalah sifatnya yang berupa
hipotesis, yang lahir bukan dari prose alami melainkan karena kemauan dan akal
manusia. Kemauan dan akal tersebut memunculkan pernyataan yang berfungsi
sebagai asumsi dasar atau permulaan. Dinyatakan bahwa setiap perbuatan akan
menimbulkan suatu konsekuensi tertentu, yang mana konsekuensi tersebut akan
dilaksanakan oleh kehendak manusia itu sendiri. Kelsen menjelaskan bahwa semakin
tinggi suatu norma akan semakin abstrak sifatnya dan berlaku sebaliknya,
semakin rendah kedudukannya maka akan semakin konkrit norma tersebut. Sebagai
oposisi dari norma moral yang merupakan deduksi dari norm moral lain dengan
silogisme, norma hukum selalu diciptakan dengan kehendak (act of will). Penciptaan hukum dari suatu kehendak bagaimanapun
harus sesuai dengan norma hukum yang lebih tinggi dan memberikan otorisasi atas
hukum baru tersebut. Hal dimaksud inilah yang disebut basic norm oleh Hans
Kelsen yang merupakan presupposition dari sebuah validitas hukum tertinggi.
Masalah utama dalam teori umum adalah norma hukum elemen-elemen hubungannya,
tata hukum sebagai suatu kesatuan, strukturnya, hubungan antara tata hukum yang
berbeda dan akhirnya kesatuan hukum di dalam tata hukum positif yang plural.
Teori hukum murni Hans Kelsen menekankan pada pembedaaan yang jelas antara
hukum empiris dan keadilan transedental dengan mengeluarkannya dari ruang
lingkup kajian hukum. Kelsen tidak mengklaim bahwa presupposition dari norma dasar adalah sebuah kepastian dan
merupakan kognisi rasional. Norma dasar adalah bersifat optional. Sikap yang
diambil oleh Hans Kelsen adalah pemurnian hukum dari kepentingan-kepentingan
diluar hukum seperti politik, keadilan, ideology dan seterusnya. Hukum
merupakan teknik sosial yang spesifik dengan objek hukum positif. Positivisme hukum berangkat dari pandangan
awal bahwa hukum harus dikodifikasikan dalam suatu konstruk perundangan untuk
memisahkannya dengan norma-norma lainnya sekaligus mencirikan positivisme hukum
yang bermuara pada terciptanya kepastian hukum. Kepastian dimaksud adalah
adanya keyakinan yang kuat bahwa aturan-aturan yang ditaati serta dijalankan
oleh aparatur negara benar-benar sesuai dengan amanat undang-undang, tidak
didasarkan pada analisis meta undang-undang, yaitu nilai-nilai abstrak yang
menjadi pegangan dan pedoman hidup masyarakat. Positivisme sejatinya memiliki itikad
baik, terutama dalam mengakomodir perkembangan dan kebutuhan masyarakat akan
sistem hukum yang lebih sistematis dan positivistik. Kepastian hukum menjadi
harga mati untuk membangun negara yang mengedepankan hukum dan menjadikan hukum
sebagai panglima. Akan tetapi, positivisme mengabaikan dan bahkan menganggap
tidak penting norma-norma di luar hukum yang sejatinya hidup dan berkembang di
masyarakat. Kehidupan bermasyarakat memiliki begitu banyak unsur yang
terkandung didalamnya antara lain unsur politik, ekonomi, sosial dan budaya.
Tidaklah mungkin penyelenggaraan kehidupan bersama terlepas dari salah satu
unsur tersebut. Jika melihat kebutuhan masyarakat terhadap hukum adalah
semata-mata untuk memberikan rasa keadilan. Sehingga independensi hukum
terhadap unsur-unsur lainnya dapat memberikan jaminan atas keadilan yang
didambakan masyarakat, tidak mengenal status sosial atau status ekonomi
seseorang.
2. Teori dalam ajaran ilmu :
a.
Teori
sendiri menunjuk pada suatu kompleks hipotesis untuk menjelaskan kompleks
hipotesis.
b.
Teori dapat
juga berarti kegiatan kreatif.
c.
Teori dapat
berarti pendapat yang dikemukakan sebagai keterangan mengenai suatu peristiwa
atau kejadian.
d.
Teori dapat
juga diartikan sebagai cara untuk menjalankan sesuatu
e.
Teori dapat
digunakan sebagai asas dan dasar hukum umum yang menjadi dasar suatu ilmu
pengetahuan.
f.
Teori dapat
juga digunakan untuk suatu gambaran masa depan.
Teori sebagai produk ilmu tujuannya adalah
untuk memecahkan masalah dan membentuk sistem. Teori hukum digunakan untuk
menyelesaikan masalah-masalah hukum positif tertentu yang mendasar. Teori hukum
selalu berkaitan dengan masalah-masalah hukum positif, tetapi jawabannya tidak
dapat dicari atau diketemukan dalam hukum positif. Kata teori dalam teori hukum
dapat diartikan sebagai suatu kesatuan pandang, pendapat dan pengertian yang
berhubungan dengan kenyataan yang dirumuskan sedemikian rupa sehingga
memungkinkan menjabarkan hipotesis-hipotesis yang dapat dikaji (Gijssels,
1982:134). Teori hukum menggunakan metode interdisipliner yang berarti teori
hukum tidak terikat pada satu metode saja, sehingga sifatnya lebih luas dan
bebas.
Hukum dalam praktik
seringkali menghadapi kendala salah satunya adalah terjadinya kekosongan hukum.
Dalam penyusunan peraturan perundang-undangan baik oleh Legislatif maupun
Eksekutif pada kenyataannya memerlukan waktu yang lama, sehingga pada saat
peraturan perundang-undangan itu dinyatakan berlaku maka hal-hal atau keadaan
yang hendak diatur oleh peraturan tersebut sudah berubah. Selain itu kekosongan
hukum dapat terjadi karena hal-hal atau keadaan yang terjadi belum diatur dalam
suatu peraturan perundang-undangan, atau sekalipun telah diatur dalam suatu
peraturan perundang-undangan namun tidak jelas atau bahkan tidak lengkap. Hal
ini sebenarnya selaras dengan pameo yang menyatakan bahwa “terbentuknya suatu peraturan perundang-undangan senantiasa tertinggal
atau terbelakang dibandingkan dengan kejadian-kejadian dalam perkembangan masyarakat”. Akibat yang
ditimbulkan dengan adanya kekosongan hukum, terhadap hal-hal atau keadaan yang
tidak atau belum diatur itu dapat terjadi ketidakpastian hukum (rechtsonzekerheid)
atau ketidakpastian peraturan perundang-undangan di masyarakat yang lebih jauh
lagi akan berakibat pada kekacauan hukum (rechtsverwarring), dalam arti
bahwa selama tidak diatur berarti
boleh, selama belum ada tata cara yang jelas dan diatur berarti bukan tidak boleh. Hal inilah yang menyebabkan
kebingungan (kekacauan) dalam masyarakat mengenai aturan apa yang harus dipakai
atau diterapkan. Dalam masyarakat menjadi tidak ada kepastian aturan yang
diterapkan untuk mengatur hal-hal atau keadaan yang terjadi. Untuk mengatasi
permasalah tersebut, ada dua cara yang dapat ditempuh, antara lain :
a. Penemuan hukum (rechtsvinding) oleh hakim
Meski terjadi kekosongan hukum, terdapat
suatu usaha interpretasi atau penafsiran peraturan perundang-undangan bisa
diberlakukan secara positif. Usaha penafsiran terhadap hukum positif yang ada
bisa diterapkan pada setiap kasus yang terjadi, karena ada kalanya UU tidak
jelas, tidak lengkap, atau mungkin sudah tidak relevan dengan zaman (out of
date). Kekuasaan kehakiman antara lain mempunyai fungsi untuk membentuk
hukum. Didalam Pasal 27 ayat (1) UU No. 14/1970 dinyatakan bahwa hakim sebagai
penegak hukum dan keadilan diwajibkan untuk menggali, mengikuti dan memahami
nilai-nilai hukum yang hidup didalam masyarakat. Adanya ketentuan tersebut
membuktikan bahwa tugas hakim tidak saja terbatas pada mengadili berdasarkan
hukum yang ada, akan tetapi juga mencari dan menemukan hukum untuk kemudian
dituangkan didalam keputusan nilai-nilai hukum yang terdapat dalam masyarakat.
Proses pencarian dan penemuan hukum oleh hakim tersebut tidak dapat dijawab
oleh ilmu hukum dalam hal terjadinya kekosongan hukum, melainkan dapat dikaji
dengan menggunakan teori hukum. Hakim harus dapat mengambil keputusan tanpa
adanya aturan tertulis sekalipun dengan berpegang teguh pada idees des recht, namun pada akhirnya
tujuan hukum lah yang harus diutamakan, yaitu terciptanya keadilan bagi
masyarakat.
b.
Kebijakan
dari pembentuk perundang-undangan
Keputusan
Hakim tidak mempunyai kekuatan hukum yang berlaku seperti peraturan umum.
Keputusan hakim hanya berlaku terhadap pihak-pihak yang bersangkutan. Oleh
karenanya, dalam upaya mengatasi kekosongan hukum di masyarakat sangat
diperlukan kebijakan atau prakarsa dari Badan Pembentuk perundang-undangan.
D. Kesimpulan
Untuk
dapat terwujudnya sistem hukum yang ideal bagi kehidupan masyarakat diperlukan
produk hukum yang baik sehingga dapat digunakan sebagai alat untuk membangun
masyarakat ke arah yang dicita-citakan. Untuk dapat membuat suatu produk hukum
yang baik maka badan pembentuk hukum harus dapat memisahkan produk hukum dari
unsur-unsur kepentingan lain yang dapat menghambat hukum menjadi alat
pembangunan bagi masyarakat. Hukum tidak boleh ditunggangi dengan
kepentingan-kepentingan lain terutama yang sifatnya hanya untuk melindungi atau
melancarkan kehendak-kehendak para pihak tertentu saja. Bahwa tujuan hukum
adalah untuk terciptanya keadilan maka produk hukum dan aparatur penegak hukum
harus dapat berorientasi pada kepentingan-kepentingan rakyat secara keseluruhan
terutama perlindungan bagi yang lemah.
Kd = rc + hl
BalasHapusket : -kd adalah keadilan
-rc adalah recht
-hl adalah holos(wholeness) Sangt brmanfaat thx :D