Kamis, 16 Februari 2012

Seputar Teori Hukum


A.     PENDAHULUAN

Hukum dianggap sebagai sistem yang abstrak yang hadir dalam bentuk keharusan-keharusan (das Sollen), sehingga masyarakat sebagai partisipan hendaknya/diwajibkan untuk dapat mengikuti aturan-aturan tersebut agar tujuan bermasyarakat dapat tercapai. Namun terdapat pula pandangan yang menyatakan bahwa hukum hanyalah suatu alat/sarana yang dipergunakan masyarakat untuk mencapai keadilan, sehingga tujuan akhir dari dilaksanakannya hukum adalah keadilan. Banyak sekali teori yang berusaha mengkaji apa yang dimaksud dengan hukum, akan tetapi sulit untuk dapat merumuskan “hukum” yang diterima oleh seluruh kalangan, sebab semua kajian adalah benar jika ditinjau dari masing-masing perspektif dan tidaklah mungkin dapat membuat suatu kesimpulan sempurna yang dapat mewakili seluruh perspektif. Untuk dapat memisahkan mengenai apa itu “hukum” secara teori dan praktik, juga untuk dapat membuat “hukum” dapat terimplementasi dalam kehidupan bermasyarakat, haruslah dilihat dari perspektif yang berbeda agar tidak terjadi kerancuan. Teori hukum menurut Bruggink adalah “seluruh pernyataan yang saling berkaitan berkenaan dengan sistem konseptual aturan-aturan hukum dan putusan-putusan hukum dan sistem tersebut untuk sebagian yang penting dipositifkan”.  Tugas teori hukum adalah membuat jelas nilai-nilai oleh postulat-postulat  hukum sampai kepada landasan filosofisnya tertinggi (Radburch). Oleh karenanya hukum harus dilepaskan dari unsur-unsur politik, psikis dan sosial budaya (das reine recht). Sebagaimana disampaikan oleh Hans Kelsen melalui “Teori murni tentang hukum”, dimana hukum murni berbicara bahwa ilmu hukum itu berdiri sendiri, terlepas dari pengaruh apapun. Untuk memahami hukum dalam konsep hukum murni harus melalui fenomologi yaitu ilmu tanpa prasangka (ilmu murni), sehingga manusia dapat memahami hukum melalui pemikiran yang tidak terbatas atas pengaruh unsur-unsur lain (fenomologi transedental).

Hukum mulai muncul pada saat seorang manusia tidak lagi hidup sendiri, yaitu pada fase “kelompok”. Terkait dengan teori hukum murni Hans Kelsen dimana hukum dibebaskan dari unsur ideologis maka “keadilan” tidaklah masuk dalam pola pikir rasional dan tidak dapat dijawab secara ilmiah sehingga “keadilan” bukan bagian dari hukum murni. Maka yang disebut dengan hukum yang murni adalah hukum dalam arti formal, yaitu sebagai peraturan yang berlaku secara yuridis. Oleh karenanya, kewajiban hukum yang muncul adalah suatu kewajiban yuridis dan ditaati karena ada paksaan/ancaman dari pihak luar jika individu tidak mentaatinya. Dasarnya bahwa asal mula seluruh hukum adalah undang-undang dasar Negara. Dalam relasi Negara ada penguasa dan ada rakyat , ada yang memberi perintah dan ada yang harus menaati perintah. Kewajiban yuridis dianggap sebagai suatu dorongan batin yang tidak dapat dielakkan. Kewajiban mematuhi hukum menurut Hans Kelsen merupakan suatu peraturan a-normatif tidak masuk akal, dan tidak merupakan hukum. Kelsen juga menyatakan bahwa kewajiban hukum termasuk dalam pengertian transedental-logis, yaitu “mewajibkan” harus diterima sebagai syarat yang tidak dapat dielakkan untuk mengerti hukum sebagai hukum. Dalam hukum juga terdapat suatu norma dasar yang harus dianggap sebagai keharusan di bidang hukum. Norma dasar (grundnorm) tersebut berbunyi : “Orang-orang harus menyesuaikan dirinya dengan apa yang telah ditentukan”. Dalam konsep hukum dalam praktik, Kelsen menjabarkan teori stufenbau, yang menurutnya merupakan syarat satu-satunya bagi suatu peraturan untuk dapat disebut sebagai hukum yang mewajibkan adalah bahwa terdapat suatu minimum efektivitas (yaitu orang harus menaatinya). Dapat disimpulkan teori hukum murni Hans Kelsen adalah sebuah teori hukum positif.

Teori Kelsen telah membatasinya dirinya pada hukum sebagaimana adanya tanpa memperhatikan keadilan atau ketidakadilan.

B.      Permasalahan

Berdasarkan penjelasan mengenai hukum melalui pendekatan teori hukum murni, dapat dikatakan bahwa hukum memiliki legalitas unsur paksa. Dengan dilepaskannya unsur-unsur lain, maka hukum diharapkan dapat menjawab kebutuhan masyarakat.
1.      Bagaimana kaitan teori hukum murni dalam menjawab permasalahan-permasalahan yang terjadi di masyarakat?.
2.      Bagaimana teori hukum menyelesaikan kekosongan hukum?.

C.      Pembahasan

1.      Ilmu hukum adalah “ilmu normative” , dimana hukum semata-mata hanya berada dalam kondisi das sollen. Ciri hakiki dari norma adalah sifatnya yang berupa hipotesis, yang lahir bukan dari prose alami melainkan karena kemauan dan akal manusia. Kemauan dan akal tersebut memunculkan pernyataan yang berfungsi sebagai asumsi dasar atau permulaan. Dinyatakan bahwa setiap perbuatan akan menimbulkan suatu konsekuensi tertentu, yang mana konsekuensi tersebut akan dilaksanakan oleh kehendak manusia itu sendiri. Kelsen menjelaskan bahwa semakin tinggi suatu norma akan semakin abstrak sifatnya dan berlaku sebaliknya, semakin rendah kedudukannya maka akan semakin konkrit norma tersebut. Sebagai oposisi dari norma moral yang merupakan deduksi dari norm moral lain dengan silogisme, norma hukum selalu diciptakan dengan kehendak (act of will). Penciptaan hukum dari suatu kehendak bagaimanapun harus sesuai dengan norma hukum yang lebih tinggi dan memberikan otorisasi atas hukum baru tersebut. Hal dimaksud inilah yang disebut basic norm oleh Hans Kelsen yang merupakan presupposition dari sebuah validitas hukum tertinggi. Masalah utama dalam teori umum adalah norma hukum elemen-elemen hubungannya, tata hukum sebagai suatu kesatuan, strukturnya, hubungan antara tata hukum yang berbeda dan akhirnya kesatuan hukum di dalam tata hukum positif yang plural. Teori hukum murni Hans Kelsen menekankan pada pembedaaan yang jelas antara hukum empiris dan keadilan transedental dengan mengeluarkannya dari ruang lingkup kajian hukum. Kelsen tidak mengklaim bahwa presupposition dari norma dasar adalah sebuah kepastian dan merupakan kognisi rasional. Norma dasar adalah bersifat optional. Sikap yang diambil oleh Hans Kelsen adalah pemurnian hukum dari kepentingan-kepentingan diluar hukum seperti politik, keadilan, ideology dan seterusnya. Hukum merupakan teknik sosial yang spesifik dengan objek hukum positif.  Positivisme hukum berangkat dari pandangan awal bahwa hukum harus dikodifikasikan dalam suatu konstruk perundangan untuk memisahkannya dengan norma-norma lainnya sekaligus mencirikan positivisme hukum yang bermuara pada terciptanya kepastian hukum. Kepastian dimaksud adalah adanya keyakinan yang kuat bahwa aturan-aturan yang ditaati serta dijalankan oleh aparatur negara benar-benar sesuai dengan amanat undang-undang, tidak didasarkan pada analisis meta undang-undang, yaitu nilai-nilai abstrak yang menjadi pegangan dan pedoman hidup masyarakat. Positivisme sejatinya memiliki itikad baik, terutama dalam mengakomodir perkembangan dan kebutuhan masyarakat akan sistem hukum yang lebih sistematis dan positivistik. Kepastian hukum menjadi harga mati untuk membangun negara yang mengedepankan hukum dan menjadikan hukum sebagai panglima. Akan tetapi, positivisme mengabaikan dan bahkan menganggap tidak penting norma-norma di luar hukum yang sejatinya hidup dan berkembang di masyarakat. Kehidupan bermasyarakat memiliki begitu banyak unsur yang terkandung didalamnya antara lain unsur politik, ekonomi, sosial dan budaya. Tidaklah mungkin penyelenggaraan kehidupan bersama terlepas dari salah satu unsur tersebut. Jika melihat kebutuhan masyarakat terhadap hukum adalah semata-mata untuk memberikan rasa keadilan. Sehingga independensi hukum terhadap unsur-unsur lainnya dapat memberikan jaminan atas keadilan yang didambakan masyarakat, tidak mengenal status sosial atau status ekonomi seseorang.
2.      Teori dalam ajaran ilmu :
a.      Teori sendiri menunjuk pada suatu kompleks hipotesis untuk menjelaskan kompleks hipotesis.
b.      Teori dapat juga berarti kegiatan kreatif.
c.       Teori dapat berarti pendapat yang dikemukakan sebagai keterangan mengenai suatu peristiwa atau kejadian.
d.      Teori dapat juga diartikan sebagai cara untuk menjalankan sesuatu
e.      Teori dapat digunakan sebagai asas dan dasar hukum umum yang menjadi dasar suatu ilmu pengetahuan.
f.        Teori dapat juga digunakan untuk suatu gambaran masa depan.
Teori sebagai produk ilmu tujuannya adalah untuk memecahkan masalah dan membentuk sistem. Teori hukum digunakan untuk menyelesaikan masalah-masalah hukum positif tertentu yang mendasar. Teori hukum selalu berkaitan dengan masalah-masalah hukum positif, tetapi jawabannya tidak dapat dicari atau diketemukan dalam hukum positif. Kata teori dalam teori hukum dapat diartikan sebagai suatu kesatuan pandang, pendapat dan pengertian yang berhubungan dengan kenyataan yang dirumuskan sedemikian rupa sehingga memungkinkan menjabarkan hipotesis-hipotesis yang dapat dikaji (Gijssels, 1982:134). Teori hukum menggunakan metode interdisipliner yang berarti teori hukum tidak terikat pada satu metode saja, sehingga sifatnya lebih luas dan bebas.
Hukum dalam praktik seringkali menghadapi kendala salah satunya adalah terjadinya kekosongan hukum. Dalam penyusunan peraturan perundang-undangan baik oleh Legislatif maupun Eksekutif pada kenyataannya memerlukan waktu yang lama, sehingga pada saat peraturan perundang-undangan itu dinyatakan berlaku maka hal-hal atau keadaan yang hendak diatur oleh peraturan tersebut sudah berubah. Selain itu kekosongan hukum dapat terjadi karena hal-hal atau keadaan yang terjadi belum diatur dalam suatu peraturan perundang-undangan, atau sekalipun telah diatur dalam suatu peraturan perundang-undangan namun tidak jelas atau bahkan tidak lengkap. Hal ini sebenarnya selaras dengan pameo yang menyatakan bahwa “terbentuknya suatu peraturan perundang-undangan senantiasa tertinggal atau terbelakang dibandingkan dengan kejadian-kejadian dalam perkembangan masyarakat”. Akibat yang ditimbulkan dengan adanya kekosongan hukum, terhadap hal-hal atau keadaan yang tidak atau belum diatur itu dapat terjadi ketidakpastian hukum (rechtsonzekerheid) atau ketidakpastian peraturan perundang-undangan di masyarakat yang lebih jauh lagi akan berakibat pada kekacauan hukum (rechtsverwarring), dalam arti bahwa selama tidak diatur berarti boleh, selama belum ada tata cara yang jelas dan diatur berarti bukan tidak boleh. Hal inilah yang menyebabkan kebingungan (kekacauan) dalam masyarakat mengenai aturan apa yang harus dipakai atau diterapkan. Dalam masyarakat menjadi tidak ada kepastian aturan yang diterapkan untuk mengatur hal-hal atau keadaan yang terjadi. Untuk mengatasi permasalah tersebut, ada dua cara yang dapat ditempuh, antara lain :
a.      Penemuan hukum (rechtsvinding) oleh hakim
Meski terjadi kekosongan hukum, terdapat suatu usaha interpretasi atau penafsiran peraturan perundang-undangan bisa diberlakukan secara positif. Usaha penafsiran terhadap hukum positif yang ada bisa diterapkan pada setiap kasus yang terjadi, karena ada kalanya UU tidak jelas, tidak lengkap, atau mungkin sudah tidak relevan dengan zaman (out of date). Kekuasaan kehakiman antara lain mempunyai fungsi untuk membentuk hukum. Didalam Pasal 27 ayat (1) UU No. 14/1970 dinyatakan bahwa hakim sebagai penegak hukum dan keadilan diwajibkan untuk menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup didalam masyarakat. Adanya ketentuan tersebut membuktikan bahwa tugas hakim tidak saja terbatas pada mengadili berdasarkan hukum yang ada, akan tetapi juga mencari dan menemukan hukum untuk kemudian dituangkan didalam keputusan nilai-nilai hukum yang terdapat dalam masyarakat. Proses pencarian dan penemuan hukum oleh hakim tersebut tidak dapat dijawab oleh ilmu hukum dalam hal terjadinya kekosongan hukum, melainkan dapat dikaji dengan menggunakan teori hukum. Hakim harus dapat mengambil keputusan tanpa adanya aturan tertulis sekalipun dengan berpegang teguh pada idees des recht, namun pada akhirnya tujuan hukum lah yang harus diutamakan, yaitu terciptanya keadilan bagi masyarakat.
b.      Kebijakan dari pembentuk perundang-undangan
Keputusan Hakim tidak mempunyai kekuatan hukum yang berlaku seperti peraturan umum. Keputusan hakim hanya berlaku terhadap pihak-pihak yang bersangkutan. Oleh karenanya, dalam upaya mengatasi kekosongan hukum di masyarakat sangat diperlukan kebijakan atau prakarsa dari Badan Pembentuk perundang-undangan.

D.     Kesimpulan

Untuk dapat terwujudnya sistem hukum yang ideal bagi kehidupan masyarakat diperlukan produk hukum yang baik sehingga dapat digunakan sebagai alat untuk membangun masyarakat ke arah yang dicita-citakan. Untuk dapat membuat suatu produk hukum yang baik maka badan pembentuk hukum harus dapat memisahkan produk hukum dari unsur-unsur kepentingan lain yang dapat menghambat hukum menjadi alat pembangunan bagi masyarakat. Hukum tidak boleh ditunggangi dengan kepentingan-kepentingan lain terutama yang sifatnya hanya untuk melindungi atau melancarkan kehendak-kehendak para pihak tertentu saja. Bahwa tujuan hukum adalah untuk terciptanya keadilan maka produk hukum dan aparatur penegak hukum harus dapat berorientasi pada kepentingan-kepentingan rakyat secara keseluruhan terutama perlindungan bagi yang lemah.

1 komentar:

  1. Kd = rc + hl
    ket : -kd adalah keadilan
    -rc adalah recht
    -hl adalah holos(wholeness) Sangt brmanfaat thx :D

    BalasHapus