Senin, 02 Juli 2012

Analisa Kasus Kartel (Hukum Antimonopoli)

1.      Fakta-fakta terkait kasus Kartel :
v  Hanya terdapat beberapa pelaku usaha di suatu daerah oleh karena industri yang oligopolistik tersebut membutuhkan modal dan sunk cost yang sangat besar, sehingga tidak banyak pelaku usaha yang ingin berpartisipasi dalam industri tersebut.
v  Industri tersebut sangat vital, sehingga kemudian pemerintah memerintahkan agar pelaku usaha mewadahinya dalam suatu asosiasi untuk kebutuhan pemerintah dalam memperoleh data terkait industri tersebut.
v  Data diperoleh dari rapat atau pertemuan teknis membahas mengenai volume produksi, kebutuhan pasar dan rencana produksi.
v  Anggota asosiasi terdiri dari 8 produsen produk X dan telah berlangsung selama bertahun-tahun melakukan kegiatan dan pertemuan tanpa mempunyai pretensi bahwa pertemuan atau perbuatan tersebut rencan terhadap pelanggaran Hukum Persaingan Usaha.
v  Suatu saat terjadi kelangkaan produk X dan KPPU menduga telah terjadi kartel yang difasilitasi melalui pertemuan asosiasi tersebut.
Atas fakta-fakta tersebut, kemungkinan asosiasi melanggar Pasal 11 Undang-Undang No.5 Tahun 1999 : “ Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian, dengan pelaku usaha pesaingnya, yang bermaksud untuk mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan atau pemasaran suatu barang dan atau jasa, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.” Perbuatan tersebut dikenal dengan istilah kartel, praktek kartel merupakan salah satu strategi yang diterapkan diantara pelaku usaha untuk dapat mempengaruhi harga dengan mengatur jumlah produksi mereka. Dengan asumsi jika produksi didalam pasar dikurangi sedangkan permintaan terhadap produk mereka di dalam pasar tetap, akan berakibat kepada naiknya harga ke tingkat yang lebih tinggi. Sebaliknya, jika didalam pasar produk melimpah, maka akan berdampak terhadap penurunan harga produk di pasar. Biasanya praktek kartel dapat tumbuh dan berkembang pada pasar yang berstruktur oligopoli, dimana lebih mudah untuk bersatu dan menguasai sebagian besar pangsa pasar.
2.    Pada umumnya terdapat beberapa karakteristik dari kartel :
v  Pertama, terdapat konspirasi antara beberapa pelaku usaha.
v  Kedua, melakukan penetapan harga.
v  Ketiga, agar penetapan harga dapat efektif, maka dilakukan pula alokasi konsumen atau produksi atau wilayah.
v  Keempat, adanya perbedaan kepentingan diantara pelaku usaha misalnya karena perbedaan biaya.
Hal-hal yang menjadi kesepakatan kartel pada umunya telah diatur juga dalam Undang-Undang No.5 Tahun 1999, yaitu :
v  Pasal 1 angka 7 : “Perjanjian adalah suatu perbuatan satu atau lebih pelaku usaha untuk mengikatkan diri terhadap satu atau lebih pelaku usaha lain dengan nama apapun, baik tertulis maupun tidak tertulis.”
Akar dari seluruh kesepatan dapat diwakili oleh definisi perjanjian ini, sebab adanya kartel sendiri merupakan bentuk perjanjian dengan tujuan tertentu yang telah disepakati bersama.
v  Pasal 4 :
Ayat (1) : “Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain untuk secara bersama-sama melakukan penguasaan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.”
Ayat (2) : “Pelaku usaha patut diduga atau dianggap secara bersama-sama melakukan penguasaan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa, sebagaimana dimaksud ayat (1), apabila 2 (dua) atau 3 (tiga) pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 75% (tujuh puluh lima persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.”
Pasal ini memberikan gambaran bahwa praktek kartel lebih mudah dilakukan pada jenis pasar oligopoli.
v  Pasal 5 :
Ayat (1) : “Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga atas suatu barang dan atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen atau pelanggan pada pasar bersangkutan yang sama.”
Ayat (2) : “Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku bagi :
a.         Suatu perjanjian yang dibuat dalam suatu usaha patungan; atau
b.        Suatu perjanjian yang didasarkan undang-undang yang berlaku.”
Penetapan harga merupakan salah satu kejahatan yang paling sering dilakukan dalam kartel dengan tujuan untuk menghasilkan laba yang setinggi-tingginya. Penetapan harga yang dilakukan di antara pelaku usaha akan meniadakan persaingan dari segi harga bagi produk yang dijual atau dipasarkan dan merupakan praktek persaingan usaha tidak sehat.
v  Pasal 9 : “ Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang bertujuan untuk membagi wilayah pemasaran atau alokasi pasar terhadap barang dan atau jasa sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.”
Pelaku usaha membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk membagi wilayah pemasaran atau alokasi pasar adalah salah satu cara yang dilakukan untuk menghindari terjadinya persaingan di antara mereka. Melalui pembagian wilayah, para pelaku usaha dapat menguasai wilayah pemasaran atau alokasi pasar yang menjadi bagiannya tanpa harus menghadapi persaingan. Dengan demikian, akan mudah bagi pelaku usaha untuk menaikkan harga ataupun menurunkan produksinya atau barang yang dijual untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya. Pembagian wilayah akan berakibat kepada ekploitasi terhadap konsumen, dimana konsumen tidak mempunyai pilihan yang cukup baik dari segi barang maupun harga.
v  Pasal 10 :
Ayat (1) : “Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian, dengan pelaku usaha pesaingnya, yang dapat menghalangi pelaku usaha lain untuk melakukan usaha yang sama, baik untuk tujuan pasar dalam negeri maupun pasar luar negeri.”
Ayat (2) : “ Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya, untuk menolak menjual setiap barang dan atau jasa dari pelaku usaha lain sehingga perbuatan tersebut :
a.       Merugikan atau dapat diduga akan merugikan pelaku usaha lain; atau
b.      Membatasi pelaku usaha lain dalam menjual atau membeli setiap barang dan atau jasa dari pasar bersangkutan.”
Perjanjian pemboikotan merupakan salah satu bentuk usaha yang dilakukan para pelaku usaha untuk mengeluarkan pelaku usaha lain dari pasar yang sama atau juga untuk mencegah pelaku usaha yang berpotensi menjadi pesaing untuk masuk kedalam pasar yang sama, yang kemudian pasar tersebut dapat terjaga hanya untuk kepentingan pelaku usaha yang terlibat dalam perjanjian pemboikotan tersebut. Dengan adanya perjanjian pemboikotan akan membuat jumlah pelaku usaha yang ada di pasar tidak dapat bertambah, apabila di dalam suatu pasar hanya terdapat sedikit pelaku usaha yang menjalankan usahanya dapat berdampak terhadap berkurangnya pilihan konsumen untuk memilih pelaku usaha yang kemungkinan dapat memberikan kepuasan terbesar kepada konsumen.
3.    Seringkali asosiasi dagang digunakan sebagai kamuflase dilakukan pertemuan-pertemuan legal, namun asosiasi sendiri merupakan wadah perkumpulan para pelaku usaha yang sebenarnya banyak memberi manfaat bagi perkembangan usaha selama dijalankan dengan itikad baik. Tukar menukar informasi antar pelaku usaha tidaklah dilarang oleh undang-undang.  Kartel merupakan perjanjian yang dibuat oleh sekelompok pelaku usaha yang tidak mesti tergabung dalam suatu asosiasi resmi, sehingga tidak tepat dikatakan jika suatu asosiasi otomatis telah memfasilitasi kartel. Perumusan kartel secara rule of reason oleh pembentuk Undang-Undang No.5 Tahun 1999 dapat diartikan pelaku usaha dapat membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang bermaksud untuk mempengaruhi harga dengan mengatur produksi atau pemasaran suatu barang atau jasa asalkan tidak mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Dalam hal ini dapat diartikan pembentuk undang-undang persaingan usaha melihat bahwa sebenarnya tidak semua perjanjian kartel dapat menyebabkan persaingan usaha tidak sehat, seperti misalnya perjanjian kartel dalam bentuk mengisyaratkan untuk produk-produk tertentu harus memenuhi syarat-syarat tertentu yang bertujuan untuk melindungi konsumen dari produk yang tidak layak atau dapat membahayakan keselamatan konsumen dan tujuannya tidak menghambat persaingan, pembuat undang-undang persaingan usaha mentolerir perjanjian kartel seperti itu.
4.    Pelanggaran yang dilakukan oleh suatu asosiasi terhadap Undang-Undang No.5 Tahun 1999 harus dilihat dari perbuatan-perbuatannya, dan tidak bergantung pada instruksi pemerintah. Selama asosiasi tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh Undang-Undang dan tidak memenuhi unsur-unsur pelanggaran (rule of reason) sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No.5 Tahun 1999, maka ada tidaknya instruksi pemerintah tidak akan berpengaruh pada asosiasi.
5.    Faktor yang mempengaruhi kesepakatan Kartel yang juga menjadi indicator awal identifikasi kartel dapat terjadi melalui :
a.       Factor struktural,
1)      Tingkat konsentrasi dan jumlah perusahaan. Kartel akan lebih mudah jika jumlah perusahaan tidak terlalu banyak. Indikator tingkat rasio konsentrasi perusahaan adalah persentase dari total pangsa pasar yang dimiliki oleh perusahaan. Persentase tersebut menunjukan posisi perusahaan dalam berkompetisi dengan perusahaan lain pada pasar bersangkutan. Pemusatan kekuatan ekonomi atau konsentrasi pasar menunjukkan adanya pertumbuhan perusahaan dalam skala besar, dan terjadinya penurunan tingkat kompetisi pada pasar bersangkutan.
2)      Ukuran perusahaan. Kartel terbentuk jika pelopornya adalah beberapa perusahaan dengan ukuran yang setara. Hal ini akan memudahkan pembagian kuota produksi atau tingkat harga yang disepakati dapat dicapai dengan lebih mudah dikarenakan kapasitas produksi dan tingkat biaya produksi semua perusahaan tidak jauh berbeda.
3)      Homogenitas produk. Produk yang homogeny, baik berupa barang atau jasa, menyebabkan preferensi konsumen terhadap seluruh produk menjadi tidak jauh berbeda. Ini menyebabkan persaingan harga sebagai satu-satunya variable persaingan yang efektif. Dengan demikian dorongan para pelaku usaha untuk bersepakat membentuk kartel akan semakin kuat untuk menghindari perang harga yang dapat menurunkan tingkat keuntungan para pelaku usaha tersebut.
4)      Kontak multi-pasar. Pemasaran yang luas dari suatu produk memungkinkan terjadinya kontak multi-pasar dengan pesaingnya yang juga memiliki tujuan pasar yang luas. Kontak yang dilakukan berkali-kali dapat mendorong pelaku usaha yang seharusnya bersaing justru melakukan kolaborasi dengan cara alokasi wilayah ataupun harga.
5)      Persediaan dan kapasitas produksi. Persediaan yang berlebihan di pasar menunjukkan telah terjadi kelebihan penawaran.
6)      Keterkaitan kepemilikan. Keterkaitan kepemilikan baik minoritas maupun mayoritas mendorong pelaku usaha untuk memaksimalkan keuntungan melalui harmonisasi perilaku di antara perusahaan yang mereka kendalikan. Pemegang saham dua atau lebih perusahaan yang semestinya bersaing cenderung memanfaatkan kepemilikan silang untuk memperkuat kartel dengan tujuan untuk memaksimalkan keuntungan.
7)      Kemudahan untuk masuk pasar. Tingginya entry barrier sebagai hambatan bagi perusahaan baru untuk masuk pasar akan memperkuat keberadaan kartel.
8)      Karakter permintaan, keteraturan, elastisitas & perubahan. Permintaan yang teratur dan inelastisitas dengan pertumbuhan yang stabil akan memberikan jalan terbentuknya kartel.
9)      Kekuatan tawar pembeli. Pembeli dengan posisi tawar yang kuat akan dapat melemahkan kartel, bahkan membubarkannya.
b.      Faktor perilaku :
1)      Transparansi dan pertukaran informasi. Kartel akan mudah terbentuk jika para pelaku usaha terbiasa dengan pertukaran informasi dan transparansi di antara mereka. Peranan asosiasi sangat kuat karena merupakan media pertukaran informasi tersebut. Data produksi dan harga jual secara periodic dikirimkan ke asosiasi sebagai upaya kepatuhan terhadap kesepakatan kartel. Pertukaran informasi dan data dapat dilakukan tanpa asosiasi, yang justru semakin mencurigakan karena sesame pelaku usaha pesaing saling memberikan informasi harga dan data produksi.
2)  Peraturan harga dan kontrak. Perilaku pengaturan harga dan kontrak dapat memperkuat adanya kartel di suatu industry. Kebijakan one price policy merupakan alat control yang efektif antar anggota kartel terhadap kesepakatan kartel.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar