Senin, 02 Juli 2012

Hukum Acara Undang-Undang No.5 Tahun 1999

1.       Kelemahan dari Hukum Acara Undang-Undang No.5 Tahun 1999.
a.       Pasal 35 dan Pasal 36 Undang-Undang No.5 Tahun 1999, memberikan KPPU tugas dan wewenang untuk melakukan penyidikan, penuntutan dan sekaligus sebagai pengadilan yang dapat memutuskan dan menetapkan ada atau tidaknya kerugian baik itu di pihak pelaku usaha lain atau masyarakat. Kekurangan yang sangat nyata yakni dalam hal pengaturan hukum acaranya walaupun dalam teknis substansial sudah cukup mendapat penjelasan. Sehingga untuk mengetahui proses pemeriksaan oleh KPPU, proses pemeriksaan upaya hukum keberatan di Pengadilan dan proses pemeriksaan upaya hukum Kasasi di Mahkamah Agung tidak dapat ditemukan dalam Undang-Undang tersebut. Di dalam Undang-Undang No.5 Tahun 1999 hanya disebutkan bahwa keberatan diajukan ke Pengadilan Negeri, sedangkan bagaimana cara pemeriksaannya tidak dijelaskan. sehingga dalam prakteknya cukup menjadi hambatan bagi Pengadilan Negeri dalam melakukan pemeriksaan terhadap upaya hukum keberatan yang dilakukan oleh pihak pelaku usaha yang tidak menerima putusan KPPU. Kemudian dikeluarkan Perma No.3 Tahun 2005 untuk mengisi kekosongan hukum acara dalam Undang-Undang No.5 Tahun 1999.
b.      Perlu dilakukan revisi terhadap Undang-Undang No.5 Tahun 1999 mengingat KPPU memiliki kewenangan yang cukup luas diperlukan ketentuan hukum acara yang sangat lengkap, sehingga dalam revisi tersebut perlu melibatkan praktisi dan penegak hukum untuk memperoleh suatu aturan lengkap dan akurat terkait hukum acara agar proses peradilan di KPPU juga dapat berjalan sesuai dengan yang diharapkan. KPPU memiliki kewenangan yang luas dimana kewenangan-kewenangan yang luas tersebut tetap ada batasnya, yaitu dari segi eksekusi putusan, walaupun KPPU bisa memeriksa, menyidik, memanggil para pihak bahkan membuat suatu putusan terhadap perkara yang diperiksanya tetap saja KPPU tidak bisa melaksanakan eksekusi terhadap putusan yang telah dibuatnya karena untuk melaksanakan eksekusi diperlukan fiat eksekusi pengadilan. Dari segi pidana, walaupun KPPU memiliki kewenangan yang luas untuk melakukan pemeriksaan, tetapi hasil pemeriksaan KPPU tersebut hanya menjadi bukti permulaan yang cukup bagi penyidik.
2.       Kritisi terhadap Peraturan Mahkamah Agung No.3 Tahun 2005
a.       Peraturan MA No.3 Tahun 2005 dalam beberapa hal belum mampu melengkapi kekurangan dalam hukum acara misalnya bagi pembuktian pidana. Perma No.3 Tahun 2005 melakukan penyempitan makna bahwa status KPPU sebagai “pihak” tidak sama dengan makna hukum “pihak” dalam perkara lain di luar hukum persaingan usaha. Terhadap upaya konsolidasi sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (2) Perma No.3 Tahun 2005 dinyatakan bahwa dalam hal keberatan diajukan lebih dari satu pelaku usaha, untuk putusan yang sama tetapi berbeda tempat kedudukan hukumnya, KPPU dapat  mengajukan permohonan tertulis kepada Mahkamah Agung untuk menunjuk salah satu Pengadilan Negeri agar memeriksa keberatan tersebut. Namun yang  belum jelas dari hal tersebut adalah apakah keberatan tersebut tetap ditangani oleh Majelis Hakim yang sama atau Majelis Hakim yang berbeda? Sebab penanganan perkara oleh Majelis Hakim yang berbeda, bukan tidak mungkin putusannya juga berbeda. Nomor perkara yang berbeda akan memiliki konsekuensi kepastian yang  berbeda pula.
Pertimbangan memasukkan irah-irah dalam putusan KPPU ada dua yaitu :
1)      Pertimbangan teknis : agar putusan KPPU ketika diajukan ke pengadilan untuk dieksekusi, putusan tersebut sudah tidak menjadi persoalan karena sudah ada irah-irah sehingga hakim tinggal mengesahkan saja.
2)      Pertimbangan substansi : mengenai persoalan keadilan. Hukum persaingan murninya adalah aspek ekonomi, dengan memasukkan irah-irah, maka filosofi keadilan masuk dalam rumusan.
Namun kemudian Mahkamah Agung mengatakan bahwa hal tersebut tidak bisa dilakukan karena KPPU bukanlah pengadilan.
Beberapa kelemahan hukum acara dalam Peraturan Mahkamah Agung No.3 Tahun 2005 :
1)      Pengaturan dalam Pasal 5 ayat (2) Perma No.3 Tahun 2005 menegaskan bahwa dalam hal pelaku usaha mengajukan keberatan, KPPU wajib menyerahkan putusan dan berkas perkaranya ke Pengadilan Negeri yang memeriksa perkara keberatan, sementara pemeriksaan keberatan oleh Pengadilan Negeri hanya pada putusan dan berkas perkara. Terdapat potensi penyimpangan karena tidak lagi dilakukan pemeriksaan ulang atas seluruh berkas perkara sebagaimana yang diatur dalam hukum acara perdata dan hukum acara pidana. Jika yang diperiksa hanya keberatan pelaku usaha dan tidak ada lagi pemeriksaan para pihak termasuk saksi-saksi dan saksi ahli, dikhawatirkan terjadi penyimpangan terhadap asas penting dalam hukum acara audit et alteram partem, yaitu suatu asas yang mengharuskan pemberian kesempatan yang seimbang kepada para pihak untuk membela diri secara pantas. Pasal 6 ayat (1) Perma No.3 Tahun 2005 hanya menyebutkan bahwa dalam hal majelis hakim berpendapat perlu pemeriksaan tambahan, melalui putusan sela perkara dikembalikan kepada KPPU untuk dilakukan pemeriksaan tambahan.Perma No.3 Tahun 2005 dalam beberapa hal mampu melengkapi kekurangan dalam hukum acara bagi pembuktian pidana, namun dalam pelaksanaan persidangan terhadap keberatan para Terlapor, ternyata harus berubah menjadi perkara perdata di Pengadilan Negeri. Dengan demikian upaya KPPU menegakkan UU.No 5 Tahun 1999 awalnya menempuh prosedur pembuktian pidana, namun dalam pelaksanaan persidangan terhadap keberatan para Terlapor, ternyata harus berubah menjadi perkara perdata di Pengadilan Negeri. Dengan demikian, upaya KPPU menegakkan UU No.5 Tahun 1999 dicederai oleh lemahnya perlindungan hukum yang seimbang terhadap terlapor dalam berperkara.
2)      Jika terlapor keberatan diproses menurut hukum acara perdata berarti harus menggunakan aturan dalam HIR. Sesuai aturan Pasal 393 (1) HIR ditentukan bahwa “waktu mengadli perkara di hadapan pengadilan negeri maka tidak dapat diperhatikan acara yang labih atau lain dari pada yang ditentukan dalam reglemen ini”. Oleh karena Peraturan Mahkamah Agung kedudukannya lebih rendah dari HIR maka hukum acara yang diatur HIR lah yang harus dipatuhi, bukan peraturan Mahkamah Agung.
3)      Dalam menangani perkara keberatan terlapor, jika terlapor mengajukan bukti tambahan bukan dilakukan terhadap keberatannya, pemeriksaan tambahan bukan dilakukan oleh hakim tetapi dilakukan oleh KPPU.
Masih terdapat begitu banyak kekurangan dalam hukum acara yang harus dibenahi demi menciptakan iklim usaha yang sehat dan jujur serta upaya menciptakan lembaga hukum yang berwibawa, adil dan terpercaya.
b.      Masih banyaknya kekurangan dalam hukum acara pada Peraturan Mahkamah Agung No.3 Tahun 2005, sehingga perlu dilakukan revisi atas Perma dimaksud. Untuk mencapai kepastian hukum, aturan yang dibuat juga harus jelas dan tegas dalam pengaturannya, aturan yang satu dengan yang lain haruslah harmonis dan tidak tumpang tindih. Sebenarnya penegakan hukum persaingan usaha bisa saja dilakukan oleh kepolisian, kejaksaan dan pengadilan. Pada hakikatnya pengadilan merupakan tempat penyelesaian perkara yang resmi dibentuk negara. Namun, untuk hukum persaingan usaha, memang perlu dilakukan oleh institusi lain karena hukum persaingan usaha membutuhkan orang-orang spesialis yang meiliki latar belakang dan mengerti seluk beluk bisnis dalam rangka menjaga mekanisme pasar. Institusi yang melakukan penegakan hukum persaingan usaha beranggotakanorang-orang yang tidak saja berlatarbelakang hukum, tetapi juga ekonomis dan bisnis. Hal ini sangat diperlukan mengingat masalah persaingan usaha sangat terkait erat dengan ekonomi dan bisnis.
3.       Pedoman Pasal 51 Undang-Undang No.5 Tahun 1999 :
a.       Sebagaimana diketahui bahwa dampak negative suatu monopoli akan sangat merugikan kepentingan masyarakat, namun ternyata monopoli tidak hanya dilakukan oleh pihak swasta saja, tetapi juga oleh badan usaha negara. Hal tersebut dimungkinkan oleh system ekonomi nasional yang didasarkan pada demokrasi ekonomi. Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945 memberikan dasar filosofis dan hukum hukum kemungkinan monopoli dan/atau penguasaan atas cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak serta penguasaan bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya oleh negara. Monopoly by law dimungkinkan dalam hukum persaingan usaha, selama kegiatan yang dimaksud menyangkut cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak. Namun demikian, jangan sampai ketentuan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945 disalahgunakan negara dengan menjadikan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) sebagai justifikasi untuk menindas rakyat banyak dan menyerah kan tampuk produksi yang penting ke tangan seseorang yang berkuasa. Dapat dikatakan bahwa UUD 1945 tidak antimonopoly.
Ketentuan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945 lebih lanjut dijabarkan dalam Pasal 51 Undang-Undang No.5 Tahun 1999, yang menyatakan : “monopoli dan/atau pemusatan kegiatan yang berkaitan dengan produksi dan/atau pemasaran barang dan/atau jasa yang menguasai hajat hidup orang banyak serta cabang-cabang produksi yang penting bagi negara diatur dengan undang-undang dan diselenggarakan oleh Badan Usaha Milik Negara dan/atau badan atau lembaga yang dibentuk atau ditunjuk oleh Pemerintah. Berdasarkan ketentuan Pasal 51 ini, negara masih dimungkinkan memberikan hak monopoli dan/atau pemusatan kegiatan produksi dan/atau pemasaran barang dan/atau jasa, yang sebelumnya diterapkan atau diatur dengan undang-undang dan penyelenggaraannya akan diserahkan kepada Badan Usaha Milik Negara yang dibentuk berdasarkan undang-undang, atau badan/lembaga lain yang dibentuk atau ditunjuk Pemerintah berdasarkan undang-undang. Demi terselenggaranya amanat UUD dan tanpa mengesampingkan tujuan Undang-Undang No.5 Tahun 1999 disusunlah pedoman Pasal 51 Undang-Undang No.5 Tahun 1999 bertujuan untuk :
1)      Mengidentifikasi batasan hukum yang jelas terkait kegiatan yang menguasai hajat hidup orang banyak
2)      Mengidentifikasi criteria badan usaha yang dapat melakukan monopoli
3)      Menetapkan mekanisme penyelenggaraan monopoli
4)      Menjadi pedoman bagi para pihak dalam melakukan kegiatan usaha agar tidak mengakibatkan praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat
Monopoli pengaturan, penyelenggaraan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan sumber daya alam serta pengaturan hubungan hukumnya ada pada negara. Pedoman Pasal 51 merupakan upaya KPPU yang sangat baik dalam mengantisipasi timbulnya persaingan usaha tidak sehat akibat monopoly by law, sehingga diharapkan iklim persaingan usaha yang sehat akan membentuk ketahan ekonomi nasional yang diharapkan, dimana kesejahteraan pada akhirnya dapat dirasakan merata oleh seluruh masyarakat. Namun mengingat dunia ekonomi yang terus berkembang dan sangat dinamis, pedoman tersebut harus senantiasa dipantau dan disempurnakan sesuai dengan perkembangan perekonomian dan administrasi negara yang ada maupun perubahan kebijakan ekonomi nasional secara menyeluruh.
b.      Tidak seluruh BUMN boleh mendapat pengecualian menurut Pasal 51 Undang-Undang No.5 Tahun 1999, sebagaimana disebutkan bahwa penyelenggaraan monopoli dan/atau pemusatan kegiatan produksi dan/atau jasa oleh negara terhadap kegiatan yang berkaitan dengan produksi dan atau pemasaran atas barang dan/atau jasa yang menguasai hajat hidup orang banyak serta cabang produksi yang penting bagi negara, diutamakan dan terutama diselenggarakan oleh BUMN. Dalam hal dimana BUMN tidak memiliki kemampuan untuk menyelenggarakan penguasaan monopoli negara, maka berdasarkan Pasal 51 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 penyelenggaraan monopoli dan atau pemusatan kegiatan dapat diselenggarakan oleh badan atau lembaga yang ditunjuk pemerintah. Dapat disimpulkan bahwa tidak seluruh BUMN yang mendapat pengecualian, karena sekalipun berbentuk BUMN untuk dapat menyelenggarakan monopoli atau penguasaan produksi harus dengan persetujuan pemerintah. Sebagaimana disebutkan juga dalam Pasal 33 UUD 1945 yang mengamanatkan bahwa perekonomian Indonesia akan ditopang oleh 3 pemain utama yaitu koperasi, BUMN/D (Badan Usaha Milik Negara/Daerah), dan swasta yang akan mewujudkan demokrasi ekonomi yang becirikan mekanisme pasar, serta intervensi pemerintah, serta pengakuan terhadap hak milik perseorangan. Penafsiran dari kalimat “dikuasai oleh negara” dalam ayat (2) dan (3) tidak selalu dalam bentuk kepemilikan tetapi utamanya dalam bentuk kemampuan untuk melakukan control dan pengaturan serta memberikan pengaruh agar perusahaan tetap berpegang pada azas kepentingan mayoritas masyarakat dan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
4.       Dampak dari consumer loss dalam putusan kasus pelanggaran Undang-Undang No.5 Tahun 1999
a.       Dalam Pasal 2 Undang-Undang No.5 Tahun 1999 disebutkan : ” Pelaku usaha di Indonesia dalam menjalan kegiatan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi dengan memperhatikan keseimbangan antara kepentingan pelaku usaha dan kepentingan umum”.
Pasal 3 Undang-Undang No.5 Tahun 1999, menyatakan : ”Tujuan pembentukan Undang-Undang ini adalah untuk :
1)      Menjaga kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi nasional sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.
2)      Mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui pengaturan persaingan usaha yang sehat sehingga menjamin adanya kepastian kesempatan berusaha yang sama bagi pelaku usaha besar, pelaku usaha menengah, dan pelaku usaha kecil
3)      Mencegah praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat yang ditimbulkan oleh pelaku usaha, dan
4)      Terciptanya efektivitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha.
Dari kedua pasal tersebut terdapat dua poin penting. Pertama, penciptaan persaingan usaha yang sehat. Kedua, kemakmuran rakyat.  Terkait dengan kemakmuran rakyat yang jika diperluas lagi akan ditemukan kaitan dengan perlindungan konsumen karena pada akhirnya terciptanya persaingan usaha yang sehat juga untuk melindungi dan memberi keuntungan pada konsumen luas.  Keterkaitan hukum (legal linkage) antara persaingan usaha dan perlindungan konsumen menjadi sebuah terobosan apabila ditinjau dalam konteks UU Persaingan Usaha (UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat), karena UU Persaingan Usaha tidak secara eksplisit mengatur keterkaitan antara larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat sebagai bentuk atau langkah untuk melindungi kepentingan konsumen. Diprioritaskannya kepentingan konsumen dalam penilaian atas pelanggaran Pasal 27 UU Persaingan seperti contoh kasus Temasek menjadi ‘sesuatu yang baru’ dalam penggunaan kewenangan KPPU karena :
1)       Sangat jarang ditemukan kepentingan konsumen menjadi prioritas dalam pengambilan keputusan;
2)      Minimnya pengaturan dalam UU Persaingan Usaha yang mengacu pada kepentingan konsumen. Bahkan dalam UU Persaingan Usaha hanya terdapat 6 (enam) kata ‘konsumen’ yang digunakan, dimana 3 (dua) diantaranya terdapat pada pengaturan pasal per pasal (penetapan harga, penguasaan pasar, dan posisi dominan) dan 3 (empat) lainnya terdapat pada bagian umum.
b.      Class action atas putusan kasus pelanggaran Undang-Undang No.5 Tahun 1999 pernah terjadi dalam kasus Temasek. Pada prinsipnya gugatan class actions merupakan suatu cara untuk memudahkan pencari keadilan untuk mendapatkan pemulihan hak hukum yang dilanggar melalui jalur keperdataan. Bahwa sangatlah tidak praktis apabila kasus yang menimbulkan kerugian terhadap banyak orang, memiliki fakta-fakta atau dasar hukum, serta tergugat yang sama, diajukan secara sendiri-sendiri sehingga menimbulkan ketidakefisienan bagi para pihak yang mengalami kerugian, maupun pihak tergugat bahkan kepada pengadilan sendiri. Acara gugatan class action di Indonesia belum diatur dalam hukum acara perdata, tetapi pengakuan secara hukum adanya gugatan class actions telah diakui dan diatur dalam :
1)      Pasal 37 Undang-Undang No.23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.
2)      Pasal 71 Undang-Undang No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
3)      Pasal 46 ayat (1) Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
4)      Pasal 15 Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal
5)      Pasal 74 Undang-Undang No.40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
Disamping kelima Undang-Undang tersebut, pelanggaran terhadap Undang-Undang No.10 Tahun 1997 tentang ketenagaan nuklir dan Undang-Undang No.14 Tahun 2008 tentang pengelolaan sampah juga berpotensi untuk menimbulkan kerugian dalam masyarakat, namun Undang-Undang tersebut belum mengatur dengan jelas mengenai gugatan class action seperti yang ditentukan dalam kelima Undang-Undang tersebut diatas.
Walaupun pengetauran terkait class action hanya diterangkan dalam Undang-Undang tersebut diatas akan tetapi mekanisme gugatan class actions dapat diterapkan untuk segala jenis gugatan sepanjang memenuhi persyaratan mekanisme gugatan class actions. Sehingga untuk hukum persaingan usaha dimana kelangsungannya memiliki dampak terhadap kepentingan masyarakat, maka gugatan class action dapat dilakukan dengan pertimbangan-pertimbangan yang intinya telah terjadi consumer loss atau kerugian konsumen dari praktik persaingan usaha yang tidak sehat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar