Senin, 02 Juli 2012

Analisa Kasus Tender (Hukum Antimonopoli)

Kasus Tender
1.      Dalam kasus lelang pengadaan barang/jasa pemerintah kegiatan perbaikan bangsal terdapat dugaan persekongkolan tender yang terlihat dalam fakta-fakta sebagai berikut :
v  Pada tahun 2005, Rumah Sakit Umum (RSU) Kota Tangsi mengadakan lelang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Kegiasan Perbaikan Bangsal. Tanggal 17 September 2005, Plt.Kepala RSU Kota Tangsi menunjuk Deny sebagai Sekretaris Panitia dan Daman sebagai Ketua Panitia. Yang kemudian jabatan Ketua Panitia diganti menjadi Deny karena Daman bukan pegawai RSU Kota Tangsi. Sebagai landasan hukum Panitia Tender tersebut, Walikota menerbitkan surat keputusan untuk membatalkan surat keputusan Plt.Kepala RSU sebelumnya sehingga menjadi tidak sah. RSU kemudian menunjuk PT.Lahon sebagai konsultan perencana pada bulan Oktober 2005.
v  Tender diumumkan pada tanggal 25 Oktober 2005 di salah satu media local dan papan pengumuman di RSU. Pendaftaran peserta tender dijadwalkan dari tanggal 26 Oktober-16 November 2005. Terdapat 36 perusahaan yang mendaftarakan diri untuk mengikuti Tender.
v  Terdapat tiga perusahaan yaitu CV.Multi, PT.Delima, dan CV.Mulia yang diwakili oleh satu orang yaitu Sdr.Dungan yang ditunjuk untuk mewakili ketiga perusahaan tersebut, sehingga dokumen penawaran yang dimasukkan relatif sama dari sisi format yang digunakan.
v  Setelah proses seleksi dari 31 perusahaan yang memasukkan dokumen penawaran, hanya 7 perusahaan yang dokumennya lengkap dan memenuhi persyaratan, dengan keterangan sebagai berikut :

No
Nama Peserta
Harga Penawaran (Rp.)
1.
CV. Makar
1.502.757.000
2.
CV. Sehati
1.503.470.000
3.
CV. Nungsem
1.579.839.000
4.
PT. Main
1.617.762.000
5.
CV. Multi
1.884.197.000
6.
PT. Delima
1.882.852.000
7.
CV. Mulia
1.894.227.000

Ketiga perusahaan yang diwakili oleh Sdr.Dungan memberikan harga penawaran tertinggi yang tidak berbeda jauh satu sama lain.
v  Panitia tender kemudian mengeluarkan surat Nomor 10/PAN-RSU/XI/2005 yang menetapkan tiga usulan pemenang dan disampaikan kepada Plt.Kepala RSU Tangsi. Nama calon pemenang adalah sebagai berikut :

No
Usulan
Nama Peserta
Harga Penawaran (Rp.)
1.
Calon Pemenang
CV. Makar
1.502.757.000
2.
Calon Pemenang Cadangan I
PT. Main
1.617.762.000
3.
Calon Pemenang Cadangan II
CV. Multi
1.884.197.000

v  Oleh karena Plt.Kepala RSU Kota Tangsi tidak berwenang mengambil keputusan sendiri, maka kemudian pada 29 November 2005, hasil dari panitia tender tersebut dilaporkan kepada Walikota melalui Wakil Walikota. Berdasarkan informasi dari Wakil Walikota, Walikota meminta untuk dilakukan evaluasi ulang dan mempertimbangkan penawaran CV.Multi yang diwakili Sdr.Dungan.
v  Tanggal 30 November 2005, Panitia Tender (Sdr.Deny) menerima telepon dari seseorang yang mengaku bernama Sdr.Dungan yang mengatakan agar perusahaannya dimenangkan. Pada hari yang sama Walikota dengan menggunakan telepon seluler Plt.Kepala RSU Kota Tangsin juga meminta agar Panitia Tender memenangkan Sdr.Dungan.
v  Atas instruksi tersebut Plt.Kepala RSU mengeluarkan disposisi kepada panitia tender untuk melakukan evaluasi ulang dengan menyesuaikan dengan HPS karena lebih wajar jika pemenang tender nilai penawarannya mendekati nilai HPS. Dalam pelaksanaannya, evaluasi ulang tidak dilakukan dan Panitia langsung menetapkan calon pemenangnya, sebagai berikut :

No
Usulan
Nama Peserta
Harga Penawaran (Rp.)
1.
Pemenang
CV. Multi
1.884.197.000
2.
Pemenang Cadangan I
PT. Delima
1.882.852.999
3.
Pemenang Cadangan II
CV. Mulia
1.894.227.000

v  Berdasarkan keputusan tersebut, Panitia Tender pada tanggal 1 Desember 2005 menghadap Walikota dan berakhir dengan keputusan Walikota untuk segera mengumumkan hasil Tender tersebut. Panitia pun mengeluarkan pengumuman Tender pada tanggal 5 Desember 2005.
2.      Keputusan Pemenang Tender berdasarkan fakta-fakta tersebut sangat ditentukan dari campur tangan pemerintah, dalam hal ini Walikota. Dan panitia tender sendiri tidak mengambil sikap independen dan langsung menetapkan pemenang yang sesuai dengan intruksi Walikota tanpa mengadakan evaluasi ulang.
UNCTAD menyatakan bahwa tender kolusif pada dasarnya bersifat anti persaingan karena melanggar tujuan tender yang sesungguhnya, yaitu mendapatkan barang dan jasa dengan harga dan kondisi yang paling menguntungkan. Kondisi yang paling menguntungkan diperoleh bila penawaran tender dilakukan dengan secara efisien, efektif, terbuka dan bersaing, transparan, adil tidak diskriminatif, dan akuntabel, bila tidak maka konspirasi atau persekongkolan dalam penawaran tender dapat terjadi. Sebagaimana diatur dalam Pedoman Pasal 22, bahwa prinsip-prinsip umum yang perlu diperhatikan dalam tender adalah transparansi, penghargaan atas uang, kompetisi yang efektif dan terbuka, negosiasi yang adil, akuntabilitas dan proses penilaian, serta non-diskriminatif. Harga terbaik akan diperoleh apabila ada persaingan dalam mengajukan penawaran harga oleh peserta tender. Dalam perkara a quo, tindakan panitia tender yang memasukkan ketiga perusahaan Sdr.Dungan sebagai pemenang tender telah menghilangkan unsur persaingan dalam tender ini. Sehingga walaupun tender dilakukan dengan pelelangan umum, tetapi prinsip kompetisi dalam tender telah diabaikan.
3.      Kemiripan dokumen, kesamaan sumber atau referensi dapat menjadi bukti awal untuk mengungkapkan terjadinya persekongkolan tender secara horizontal. Persekongkolan horizontal yaitu diantara sesama pelaku usaha pesaing sendiri. Namun kesamaan format dokumen tersebut tidak dapat serta merta membuktikan adanya kerjasama diantara para peserta tender, namun perilaku tersebut dapat dikategorikan sebagai ketidak profesionalian peserta tender.
4.      KPPU dalam perkara a quo berhak untuk menyelidiki dan menjatuhkan sanksi kepada Panitia Tender oleh karena banyaknya fakta yang mengungkapkan praktik kecurangan yang menimbulkan persaingan usaha tidak sehat. Panitia tender dapat dikenakan Pasal 22 Undang-Undang No.5 Tahun 1999 : “Pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk mengatur dan atau menentukan pemenang tender sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.” Sebagaimana fakta-fakta terkait kasus ini, Panitia Tender yang sudah mengetahui bahwa Sdr.Dungan telah melakukan persekongkolan horizontal antara tiga perusahaan yang diwakilinya tetap memproses penawaran ketiga perusahaan tersebut, yang pada akhirnya dengan pertimbangan-pertimbangan yang tidak lepas dari intervensi pemerintah, dalam perkara ini bukan hanya persekongkolan horizontal yang terjadi antara peserta tender, tetapi juga telah terjadi persekongkolan vertikal dan berujung pada putusan pemenang tender yang seluruhnya merupakan perusahaan yang diwakili oleh Sdr.Dungan.
5.      Besaran nilai awal penawaran dari peserta tender merupakan bukti awal terjadinya persekongkolan sebagaimana disebutkan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang No.5 Tahun 1999 yang merumuskan bahwa : “ Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga atas suatu barang dan/atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen atau pelanggan pada pasar bersangkutan yang sama.”
Apabila dilihat dari rumusnya, maka pasal yang mengatur mengenai penetapan harga ini dirumuskan secara per se illegal, sehingga penegak hukum dapat langsung menerapkan pasal ini kepada pelaku usaha yang melakukan perjanjian penetapan harga tanpa harus mencari alasan-alasan mereka melakukan perbuatan tersebut atau tidak diperlukan membuktikan perbuatan tersebut menimbulkan terjadinya monopoli atau praktik persaingan usaha tidak sehat.
6.      Format dokumen lelang/tender yang rencananya akan diberlukan dalam waktu dekat, akan sedikit menyulitkan KPPU dalam menyelidiki kasus pengadaan. Namun, sebagaimana dijelaskan sebelumnya, bahwa kesamaan format tidak serta merta membuktikan terdapat kerjasama antar peserta tender. Didalam dokumen tender terdapat banyak aspek yang dapat dinilai oleh KPPU untuk menyelidiki praktik kecurangan, terutama dalam bagian harga penawaran. Sehingga keseragaman format dimaksud seharusnya tidak menyulitkan KPPU untuk memberantas persekongkolan tender.
7.      Pasal 22 Undang-Undang No.5 Tahun 1999 : “Pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk mengatur dan atau menentukan pemenang tender sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.” Pihak pemerintah secara substansi dapat dikategorikan sebagai pihak lain dalam isi Pasal 22, rule of reason dari Pasal 22 ini adalah mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat artinya perluasan pihak lain adalah para pihak yang terlibat dalam proses tender yakni pelaku usaha dan atau subjek hukum lainnya yang terkait dalam proses tender tersebut. Panitia tender maupun Walikota sebagai penentu keputusan merupakan subjek hukum lain yang terkait dengan proses tender dimana berdasarkan fakta diketahui bahwa telah terjadi persekongkolan vertikal antara panitia tender dan walikota yang mewakili pemerintah dengan peserta tender. Yang menyebabkan kerugian negara karena harga penawaran pemenang tender lebih mahal dibandingkan dengan peserta tender lain.  Hal ini melanggar tujuan utama pelaksanaan tender yaitu memberikan kesempatan yang seimbang bagi semua penawar sehingga menghasilkan harga yang paling murah dengan output yang maksimal. Namun, karena proses tender ini terkait dengan Anggaran Pemerintah berlaku aturan khusus (lex specialis) yaitu UU Anti Korupsi. Sehingga kecurangan dalam menentukan pemenang tender ini tidak dapat diterapkan untuk pemerintah, mengingat kerugian yang dialami merupakan kerugian negara (rakyat).
8.      Dalam pedoman Pasal 22 Undang-Undang No.5 Tahun 1999, yang dimaksud dengan persekongkolan vertikal adalah kerjasama antara pelaku usaha dan pemilik/pemberi pekerjaan/panitia tender.
Kolusi vertikal merupakan kolusi yang berbahaya oleh karena menimbukan banyak kerugian dan sangat bertentangan dengan upaya penciptaan persaingan sehat di Indonesia. Kolusi vertikal akan merugikan peserta tender lain, karena tidak diberikannya kesempatan untuk menang dan tidak adanya kompetisi yang fair sehingga menghalangi terciptanya persaingan yang sehat di kalangan para penawar yang beritikad baik untuk melakukan usaha di bidang bersangkutan. Perluasan pengertian “persekongkolan” yang bukan hanya sesama pelaku (horizontal) juga antara pemberi pekerjaan dengan pelaku (vertikal), bahkan kerjasama yang dilakukan oleh seluruh peserta (horizontal-vertikal),semakin membatasi upaya pihak-pihak untuk melakukan praktik curang.
9.      Diatur dalam Pasal 47 ayat (2) huruf g Undang-Undang No.5 Tahun 1999 : “pengenaan denda serendah-rendahnya Rp.1.000.000.000 (satu miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp.25.000.000.000 (dua puluh lima miliar rupiah)”. Sehingga pelaku usaha yang terbukti melakukan praktik curang yang dapat menimbulkan persaingan usaha tidak sehat seharusnya dikenakan denda minimal satu milyar, dalam kasus a quo projek tender yang dilakukan nilainya tidak mencapai dua milyar sehingga pembayaran denda satu milyar terlalu besar. Selain itu, potensi kerugian dengan terpilihnya CV.Multi sebesar Rp.381.440.000 (tiga ratus delapan satu juta empat ratus empat puluh ribu rupiah) jika dibandingkan dengan harga penawaran CV.Makar. Pemberian denda yang besar dimaksudkan untuk memberi efek jera bagi para pelaku, tetapi jika denda dimaksud justru membuat pelaku menjadi tidak dapat berusaha lagi juga bukan tujuan dari Undang-Undang No.5 Tahun 1999. Oleh karena itu, dalam Pasal 47 diberikan beberapa pilihan putusan, dalam hal ini pelaku usaha seharusnya tidak dijatuhi hukuman denda tetapi “penetapan pembayaran ganti rugi” sekurang-kurangnya sebesar potensi kerugian akibat persekongkolan tender.
10.  Undang -Undang No.5 Tahun 1999 bertujuan untuk menegakkan aturan hukum dan memberikan perlindungan yang sama bagi setiap pelaku usaha di dalam upaya untuk menciptakan persaingan usaha yang sehat. Jika KPPU kemudian menjatuhkan putusan yang melarang pelaku usaha untuk tidak lagi mengikuti tender-tender lain, justru menjadi keputusan yang tidak tepat karena bertentangan dengan tujuan UU sendiri. Sebab dengan pelarangan pelaku usaha untuk mengikuti tender lain, KPPU menciptakan pembatasan terjadinya kompetisi. Selain itu, pelarangan untuk mengikuti tender lain akan merugikan pelaku usaha dan bisa berakibat pada matinya bisnis pelaku usaha dimaksud. Putusan yang dapat diberikan KPPU sudah jelas diatur dalam Pasal 47 Undang-Undang No.5 Tahun 1999 :
Ayat (1) : Komisi berwenang menjatuhkan sanksi berupa tindakan administratif terhadap pelaku usaha yang melanggar ketentuan Undang-Undang ini.
Ayat (2) : Tindakan administratif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat berupa :
a.       Penetapan pembatalan perjanjian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 sampai dengan Pasal 13, Pasal 15 dan Pasal 16 ; dan atau
b.      Perintah kepada pelaku usaha untuk menghentikan integrasi vertikal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14; dan atau
c.       Perintah kepada pelaku usaha untuk menghentikan kegiatan yang terbukti menimbulkan praktek monopoli dan atau menyebabkan persaingan usaha tidak sehat dan atau merugikan masyarakat; dan atau
d.      Perintah kepada pelaku usaha untuk menghentikan penyalahgunaan posisi dominan; dan atau
e.      Penetapan pembatalan atau penggabungan atau peleburan badan usaha dan pengambilalihan saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28; dan atau
f.        Penetapan pembayaran ganti rugi; dan atau
g.       Pengenaan denda serendah-rendahnya Rp.1.000.000.000 (satu miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp.25.000.000.000 (dua puluh lima miliar rupiah)
Putusan hanya untuk kasus yang diperkarakan dan putusan tidak boleh diperluas ke kasus-kasus lain, kecuali dapat dibuktikan bahwa pelaku usaha tersebut juga melakukan pelanggaran yang mengakibatkan persaingan usaha tidak sehat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar